Jumat, 28 Desember 2012


Maaf

Saya pernah membuat kesalahan, dan itu cukup vatal. Awalnya tidak saya sadari, karena semua terjadi karena ulah dua orang teman. Saya memutuskan hubungan percintaan secara sepihak.  Setelah tiga belas tahun lamanya, dari beberapa orang yang  masih dekat dengannya, ia mengalami penderitaan panjang. Mulai dari kekecewaan terhadap lelaki, merasa dikhianati, hingga ia lari ke pelukan seorang lelaki  yang telah beristri.
Di lubuk hati yang paling dalam, saya masih mencintainya. Tapi perasaan itu saya pendam dan saya buang jauh-jauh, karena kami sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Saya menyadari, yang terjadi adalah takdir semata. Manusia tidak akan bisa mengelak dari skenario yang Maha Kuasa.
Akhir tahun 2012, saya mencoba menelusuri keberadaannya di dunia maya. Tidak saya sangka ia mau saya sapa dan mengobrol lewat chatting facebook. Nada bicaranya cukup dewasa, seakan ia telah melupakan masalah di antara kami. Jauh dari kesan penderitaan yang saya dengar. Atas persetujuannya, kami berjanji untuk saling bertemu.
Saya sangat menghargai kesediannya untuk bertemu. Jika nanti bertemu, kalimat pertama yang ingin saya ucapkan adalah “maaf”, dan hutang penjelasan yang selama ini menghantui saya. Tak dapat dipungkiri bahwa meminta maaf adalah salah satu hal yang paling sulit saya lakukan. Tetapi dibanding penderitaan panjang yang ia alami, perasaan malu dan harga diri saya buang jauh-jauh. Yang saya pikirkan sekarang adalah, meminta maaf adalah bentuk penyembuhan harga diri saya dan memberikan ia kesempatan untuk memaafkan saya. Selain itu, meminta maaf mengobati hubungan silaturahmi saya dengannya. Mumpung kami juga masih diberi kesempatan untuk saling bertemu.
Semoga Allah mengampuni saya dan membukaakan pintu hatinya untuk mau memaafkan saya.