KOHESI LEKSIKAL
DALAM TEKS PIDATO DR. KH. ZAENUDIN MZ.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Siapa
yang tidak kenal Bung Karno, sang orator ulung. Kita baca dalam sejarah
bagaimana orang-orang yang mendengar bapak proklamator republik Indonesia ini
mampu menghipnotis pendengarnya karena kedahsyatan beliau dalam berpidato.
Pidato
adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan
pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya
dibawakan oleh seorang yang memberikan pernyataan tentang suatu hal atau
peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan. Pidato juga merupakan salah
satu teori dari pelajaran bahasa indonesia.
Pidato
yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar
pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan umum
dapat membantu untuk mencapai jenjang karier yang baik. Contoh pidato yaitu
seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit
semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Dalam
berpidato, penampilan, gaya bahasa, dan ekspresi kita hendaknya doperhatikan
serta kita harus percaya diri menyampaikan isi dari pidato kita, agar orang
yang melihat pidato kita pun tertarik dan terpengaruh oleh pidato yang kita
sampaikan.
Penelitian ini diawali dengan
kekaguman penulis terhadap pidato-pidato almarhum DR. KH. Zaenudin MZ. Sejak
duduk di bangku SD telah mengenal almarhum karena sering mengundang beliau
dalam peringatan hari besar keagamaan di Masjid Jami Al Ihsan Lebak Bulus
tempat penulis tinggal sekitar tahun 80-an.
Sejak tahun 80-an almarhum DR. KH.
Zaenudin MZ. Telah aktif berdakwak dari masjid ke masjid. Pada tahun-tahun
80-an almarhum memang sudah terkenal namanya sebagai pendakwah yang ceramahnya
enak di dengar, tetapi beliau belum terkenal sebagai ’dai sejuta umat’. Nama
almarhum mencuat sebagai seorang penceramah ulung dan dikenal sebagai dai yang selalu diharapkan
kehadirannya untuk didengar ceramah-ceramahnya yang enak didengar, tidak
membosankan, karena kepiawaiannya berceramah atau berpidato.
Sebagai mahasiswa yang sedang
mempelajari ilmu bahasa, penulis ingin meneliti pidato atau ceramah yang
dibawakan almarhum DR. KH. Zaenudin MZ. Yang banyak mengundang banyak perhatian
masyarakat. Selama ini, data berupa teks pidato almarhum sulit diperoleh,
karena sumber data yang ada kebanyakan berupa rekaman dalam bentuk MP3. Untuk
menelitinya penulis memindahkan isi rekaman yang didengar dalam bentuk teks
dari rekaman yang ada. Teks pidato yang dicatat adalah rekaman ceramah almarhum
yang berjudul ”Reformasi Aqidah bagian 1, yang direkam pada bulan Ramadhan
tahun 2002, yang di download dari internet.
Selama ini kita mendengar ceramah
atau pidato almarhum DR. KH. Zaenudin MZ, yang terkenal karena keahliannya merangkai
kata dan kalimat sehingga menjadi pidato yang enak didengar. Pidato beliau juga
mudah dicerna dan penuh dengan lawakan segar, sehingga banyak orang dan para
pemerhati bahasa mengakuinya. Apakah jika diteliti dalam kajian wacana, pidato
almarhum dapat dikatagorikan sebagai wacana yang baik yaitu memenuhi aspek
kekohesian dan kekoherenan. Inilah yang melandasi tulisan penelitian kecil ini.
Kegiatan analisis teks pidato DR.
KH. Zaenudin MZ. Ini berkonsentrasi pada
hubungan bentuk antar bagian wacana yang disebut kohesi (Pratomo,2002:17),
karena keterbatasan waktu yang tersedia. Analisis kewacanaan yang penulis
lakukan difokuskan pada analisis kohesi leksikal Teks Pidato DR. KH. Zaenudin
MZ. yang meliputi reiterasi dan kolokasi.
Hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas analisis wacana.
Keberadaan aspek leksikal dalam
wacana cerpen diketahui akan dapat membangun sebuah wacana menjadi kohesif.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa segi bentuk merupakan struktur lahir dari bahasa
yang mencakup aspek gramatikal, sedangkan segi makna adalah struktur batin
bahasa yang mencakup aspek leksikal.
Analisis wacana muncul sebagai
upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat
fitur-fitur bahasa yang tidak cukup jika hanya dianalisis dengan menggunakan
aspek struktur dan maknanya saja. Oleh karena itu, melalui analisis wacana
dapat diperoleh penjelasan mengenai korelasi antara apa yang diujarkan, apa
yang dimaksud, dan apa yang dipahami dalam konteks tertentu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Cutting dalam Tarigan (2002:5) yang mengatakan bahwa analisis
wacana merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks
yang melatarbelakanginya. Lebih rinci lagi
Stubbs (1983:16) mengemukakan bahwa analisis wacana:
“attempts
to study the organization of language above the sentence or the clause, and
therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchanges or
written texts. It follows that discourse analysis is also concerned with
language in use in social contexts, and in particular with interaction or
dialogue between speakers ”.
Penulis
berharap analisis wacana Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. ini mampu membawa
kita mengkaji latar sosial dan latar budaya penggunaan suatu bahasa. Dengan
kata lain, kegiatan analisis wacana ini mampu meneliti bahasa lebih dari
sekedar menggambarkannya, tetapi dapat pula membantu kita memahami
aturan-aturannya yang menjadi bagian dari pengetahun pengguna bahasa yang
tercermin dalam komunikasi sehari-harinya serta dapat dijadikan salah satu sumber
belajar kegiatan analisis wacana teks pidato di masa yang akan datang.
B. Identifikasi Masalah
1.
Bagaimana penggunaan aspek kohesi
dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin
MZ?
2.
Bagaimana penggunaan aspek kohesi leksikal dalam Teks Pidato DR. KH.
Zaenudin MZ?
3. Bagaimana penggunaan aspek
kohesi leksikal reiterasi dalam Teks
Pidato DR. KH. Zaenudin MZ?
4. Bagaimana penggunaan aspek kohesi leksikal kolokasi dalam Teks Pidato
DR. KH. Zaenudin MZ?
II . LANDASAN TEORI
A. Hakikat Wacana
Peristiwa
komunikasi baik lisan dan tulisan, pembicara atau penulis menyampaikan ide,
gagasan, dan pilsafat hidupnya dengan menggunakan bahasa. Achmad (2000:3),
mengemukakan pengertian wacana dengan lebih ringkas dengan ‘rekaman kebahasaan
yang utuh tentang peristiwa komunikasi’.
Bahasa
sebagai alat komunikasi terdiri atas jalinan kalimat. Kalimat pertama dijalin
kalimat berdua, kalimat kedua menjadi perangkai kalimat ketiga, kalimat ketiga
mengacu kembali pada kalimat pertama, dan seterusnya. Rangkaian kalimat yang
saling berjalinan sangat dibutuhkan untuk menghubungkan preposisi yang satu
dengan preposisi yang lain sehingga tercipta komunikasi yang baik dan logis.
Jalinan antar kalimat itu dapat membentuk satuan yang lebih besar yang
dinamakan wacana. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hasan Alwi
yang menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan yang
menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lain dan membentuk
kesatuan (2000:419). Oleh karena itu kalimat-kalimat memerlukan kesinambungan
untuk membentuk kesatuan makna sehingga mudah dicerna oleh pembaca dan
pendengar.
Menurut
Herujati, P (2008;3), aneka macam
ekspresi verbal yang berupa teks tertulis bisa disebut wacana (discourse),
termasuk di dalamnya cerpen berupa teks yang bersifat imajiner, karena cerpen
menuntut tindakan interaksi antara pembaca dan penulis, tanpa memperhitungkan
ukuran formalnya yaitu panjang pendeknya.
Wacana
adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Kridalaksana yang
menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa tertinggi dan terlengkap dalam
hierarki gramatikal (Kridalaksana,193:231). Tingkatan dalam hierarki kebahasaan
meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Sebagai
tingkatan tertinggi dalam hierarki kebahasaan, wacana ukan merupakan susunan
kalimat acak namun merupakan suatu bahasa yang tersusun secara padu dan utuh.
Selanjutnya,
Renkema (1993:39) mengatakan bahwa untuk mempertimbangkan apakah satuan lingual
itu dapat dikatakan sebagai wacana utuh dibutuhkan tujuh kriteria. Ketujuh
kriteria itu ialah: (1) kekohesian, yaitu hubungan yang dihasilkan pada saat
interpretasi suatu unsur bergantung pada unsur lain di dalam teks. Ini berarti
bahwa kekohesian menyangkut hubungan semantis antarunsur di dalam teks; (2)
kekoherensian, yaitu hubungan yang didasari oleh sesuatu yang datangnya dari
luar teks. Sesuatu tersebut mengacu pada pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki oleh penutur atau petutur; (3) keintensionalan, menyangkut tujuan dan
fungsi bahasa yang dimiliki partisipan dalam berkomunikasi; (4) keberterimaan,
mengacu pada rangkaian kalimat yang berterima dan dapat dipahami oleh
interlokutor (petutur/pembaca) agar dapat dikualifikasikan sebagai teks; (5)
keinformatifan, berarti bahwa suatu teks harus memuat informasi-informasi baru
dan harus dapat dipahami oleh interlokutor; (6) kesituasionalan, menyangkut
situasi tempat dan waktu teks tersebut dihasilkan; dan (7) keintertekstualan,
mengacu pada keterhubungan suatu wacana dengan wacana lain yang telah
diketahui. Dari ketujuh kriteria itu, dua hal yang paling mendasar dan menjadi
perhatian banyak pihak adalah kekohesian dan kekoherensian.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satu kesatuan dari
peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keterkaitan
hubungan antara unsure-unsur bahasa dan unsure-unsur makna, sehingga wacana
yang dihasilkan utuh.
B. Jenis-Jenis Wacana
Wacana
harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses,
sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat
dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan.
Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses
komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Hal yang senada tentang jenis wacana berdasarkan sarana atau
media penyampaiannya disampaikan oleh Achmad (2000:1) yaitu:
Wacana
tulis adalah wacana yang disampaikan secara tertulis melalui media tulis dan
untuk menerima, memahami, atau menikmatinya, maka penerima harus membacanya.
Wacana
lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk
menerima, memahami, dan menikmati wacana lisan ini, maka penerima harus
menyimak atau mendengarkannya.
Fungsi
bahasa yang paling utama dalam kehidupan adalah sebagai alat komunikasi. Dengan
berkomunikasi manusia dapat saling bersosialisasi. Dalam hubungannya dengan
komunikasi, Achmad (2000:1) membagi wacana berdasarkan sifatnya yaitu wacana
transaksional dan interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang
mengutamakan isi komunikasi. Wacana lisan transaksional dapat berupa pidato,
ceramah, dakwah, deklamasi, dan sebagainya. Sedangkan wacana transaksional yang
berujud tulisan, dapat dilihat pada iklan, surat, cerita, esei, makalah, tesis,
dan sebagainya.
Wacana
interaksional adalah wacana yang bersifat timbal balik antara pembicara dengan
pendengar. Wacana lisan interaksional misalnya percakapan, dialog, debat, tanya
jawab. Sedangkan wacana tulisan interaksional banyak dijumpai pada surat
menyurat (korespondensi) antara dua orang, polemik dan sebagainya. Pembagian
wacana yang serupa dikemukakan oleh Leech (2005:93-94), yaitu:
Wacana
diklasifikasi atas wacana ekspresif,
wacana fatis, wacana informasional, wacana estetik, serta wacaa direktif.
Wacana eksresif adalah bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai
sarana ekspresi. Contohnya wacana pidato. Wacana fatis yaitu wacana yang
bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, misalnya wacana
perkenalan dalam pesta. Wacana informasional merupakan wacana yang bersumber
pada pesan atau informasi, seperti wacana
berita dalam media masa. Wacana direktif yaitu wacana yang diarahkan
pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, misalnya wacana
khotbah.
Berdasarkan
pemaparan Kushartanti dkk, (2005:94-95), klasifikasi jenis wacana secara umum,
yaitu:
Wacana
naratif, dicirikan oleh adanya alur, peristiwa dan tokoh, misalnya pada narasi
factual (berita), dan narasi fiktif (cerpen).
Wacana
deskriptif, dicirikan oleh adanya detail suatu hal, seperti pada profil.
Wacana
ekspositoris, dicirikan oleh kuatnya paparan informasi, seperti pada karangan
khas (feature).
Wacana
argumentative, dicirikan oleh kuatnya argumentasi karena didukung oleh
eksplorasi bukti dan prosedur metodologis, seperti pada tesis dan disertasi.
Wacana
persuasif, dicirikan oleh menonjolnya rangsangan dan bujukan dari penutur atau
penulis agar mitra tutur atau pembaca mengikuti apa yang diharapkan penutur
atau penulis, seperti pada iklan.
Berdasarkan
jenis-jenis wacana yang diklasifikasikan di atas, maka wacana yang diteliti
dalam penelitian ini merupakan wacana transaksional (noninteraktif) dalam
bentuk cerpen, karena pada wacana ini yang dipentingkan adalah hubungan formal antarkalimat
pembentuk paragraf dalam suatu wacana yang disampaikan oleh penulis kepada
pesapa yaitu pembaca.
C. Hakekat Kohesi
Kohesi
adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam
wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merupakan
hubungan formal antarkalimat pembentuk
paragraf.
Dalam
penulisan karangan kohesi sangat penting digunakan. Kohesi adalah bagaimana
setiap kata saling bertautan, suatu kalimat bertautan dengan kalimat lain,
begitu juga dengan paragraf. Pragraf yang satu juga harus bertautan dengan
paragraf berikutnya. Apabila semuanya
sudah saling bertautan, maka secara keseluruhan karangan tersebut merupakan
karangan yang baik. Sebuah karya tulis dikatakan kohesif jika berhubungan dari
kalimat ke kalimat dan dari paragraf ke
paragraf.
Menurut
Halliday dan Hasan (1976: 4-10), kohesi sebenarnya adalah konsep yang
menyangkut hubungan semantis antarelemen dalam suatu teks. Senada dengan Hasan
dan Halliday, Herujati,P,(2008:133), menjelaskan bahwa kohesi merupakan konsep
yang bersifat semantik yang merujuk pada hubungan makna yang terdapat dalam
sebuah teks.
Secara
lebih lengkap Achmad (2000:7) menguraikan ketergantungan gramatikal yang
dimaksud yaitu aspek yang menjelaskan keterkaitan kalimat dengan kalimat,
paragraf dengan paragraf, bab dengan bab dalam sebuah wacana.
Sedangkan
munurut Nunan, kohesi adalah hubungan pembentuk teks yang tidak terikat oleh
kendala tataran klausa. Pengertian kohesi oleh Nunan mempunyai kesamaan dengan
pengertian kohesi oleh Renkema. Menurut Renkema (1993:35), kohesi pada dasarnya
berkaitan erat dengan aspek semantis antarunsur di dalam teks. Kohesi merupakan hubungan yang diciptakan sebagai
hasil ketika interpretasi suatu
unsur tekstual bergantung pada unsur lain di dalam teks. Dengan kata lain,
kajian kohesi mengindikasikan bahwa makna
yang digambarkan di dalam teks adalah makna yang diinterpretasikan oleh penutur dan petutur berdasarkan
kesimpulan yang mereka buat tentang hubungan proposisi yang melandasi apa yang diujarkan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kohesi merupakan hubungan makna antara
kalimat yang satu dengan lainnya dalam paragraf khususnya dalam wacana yang
direalisasiskan dalam bentuk ikatan dengan penanda linguistik formal
(gramatikal dan leksikal).
D. Jenis-Jenis Peranti Kohesi
Halliday
dan Hasan (1976) menawarkan unsur yang dapat membangun keutuhan (kohesi) teks
yang dapat dicermati oleh pembuat teks, yakni unsur semantis, gramatikal, serta
leksikal. Unsur tersebut meliputi referensi, substitusi, elipsis, konjungsi,
serta kohesi leksikal. Unsur tersebut dapat diproyeksikan oleh pembuat (penulis
maupun penutur) teks. Yang perlu dipahami di sini bahwa kohesi adalah kesatuan
semantis dari suatu teks dalam kaitannya dengan konteks situasi. Hal tersebut
berterima sehingga membangun keutuhan teks. Dalam hal itu, Halliday dan Hasan
tidak mempersoalkan istilah koherensi karena pengertiannya sudah tercakup dalam
arti kohesi tersebut.
Halliday
dan Hasan (1976) membagi kohesi ke dalam lima jenis. Kelima jenis tersebut adalah (1) substitusi, yaitu penyulihan suatu kata
atau kelompok kata oleh kata lain
untuk tujuan tertentu; (2) referensi, yaitu hubungan pengacuan suatu unsur dengan unsur lain baik
yang muncul sebelumnya, sesudahnya, atau
bahkan di luar teks; (3) elipsis, yaitu pelesapan suatu kata atau bagian
dari kalimat yang dilakukan untuk
kepaduan wacana; (4) konjungsi; yaitu hubungan yang mengindikasikan bagaimana sebuah kalimat atau klausa dihubungkan
dengan kalimat atau klausa lain; dan
(5) kohesi leksikal, yaitu hubungan semantik antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal
atau kata. Dalam hal ini tidak menyangkut hubungan gramatikal tetapi hubungan
tersebut didasari oleh makna kata yang digunakannya. Terdapat dua wujud kohesi
leksikal, yaitu reiterasi dan kolokasi.
Samsuri
(1978:36-46) mengatakan bahwa peranti kohesi itu meliputi (1) hubungan sebab
akibat, (2) pronominal hubungan anaphora dan katafora), (3) pemarkah hubunga
lanjutan dan pemarkah formal hubunga konjungtor, (4) pengulangan kata atau
frasa, (5) pergantian leksikal, (6) substitusi, (7) bentuk ellipsis, dan (8)
metafora. Bentuk seperti ini dikatakan sebagai peranti kohesi gramatikal.
Sedangkan pemarkah kohesi leksikal meliputi (1) hiponim, (2) hubungan
bagian-keutuhan, (3) kolokasi, (4) perbandingan, dan (5) pengulangan sintaktik.
Ramlan
(1993:11-32) membahas pemarkah hubungan antar kalimat (kohesi) dan pertalian
makna antar kalimat (koherensi) dalam Bahasa Indonesia menjadi lima bagian,
yaitu (1) penunjukan, (2) pergantian, (3) pelesapan, (4) perangkaian, dan (5)
peranti leksikal, yang dibedakan menjadi tiga yaitu (a) pengulangan, (b)
sinonimi, dan (c) hiponimi.
Sementara
itu Kridalaksana (1982:179), membicarakan kohesi Bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan keutuhan wacana mengatakan bahwa ada empat aspek yang membentuk keutuhan
wacana, yaitu : (1) aspek semantik,(2) aspek leksikal, (3) aspek gramatikal,
dan (4) aspek fonologis. Lebih lanjut Kridalaksana mengatakan bahwa secara
garis besar pemarkah kohesi dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek gramatikal yang meliputi (1)
konjungsi, (2) ellipsis, (3) pararelisme, (4) penyulihan dengan fungsi anaforis
dan kataforis, dan aspek leksikal yang meliputi (1) ekuivalensi leksikal, (2)
antonim, (4) kolokasi, (5) kosokbali, (6) pengulangan, dan (7) penutup dan
pembuka wacana.
Berdasarkan
uraian di atas terdapat persamaan dan perbedaan teori antara yang satu dengan
yang lain. Menurut penulis perbedaan-perbedaan itu tidak ada yang mencolok.
Perbedaan tersebut umumnya berkisar pada masalah penggunaan istilah. Namun
secara garis besar pemarkah kohesi dibagi menjadi dua, yaitu pemarkah kohesi
leksikal dan pemarkah kohesi gramatikal, dan kohesi adalah aspek internal dari
struktur wacana. Berikut akan diraikan secara lebih spesifik hanya tentang
kohesi leksikal yang sesuai dengan tema penulisan penelitian ini.
E. Kohesi Leksikal
Kohesi
leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara unsur-unsur wacana
untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Haliday dan Hasan
(1992:226), mengemukakan bahwa kohesi leksikal merupakan keterikatan semantik
yang direalisasikan ke dalam sistem leksikal. Menurutnya, di dalam kohesi
leksikal tidak ada satu kasus pun khususnya butir leksikal dapat memiliki relasi
kohesif, tetapi tidak dapat membawa indikasi apakah butir itu dapat berfungsi
kohesif atau tidak. Kohesi leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan
kolokasi. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonim, hiponim, metonim, dan
antonim.
Senada
dengan Haliday dan Hasan, Nunan (1992:14) menjelaskan bahwa kohesi leksikal
adalah hubungan dua unsur dalam suatu teks melalui kriteria semantik. Kohesi leksikal terjadi
ketika dua kata dalam teks berhubungan secara semantis dalam beberapa hal, atau
dengan kata lain, keduanya memiliki hubungan makna. Pernyataan Nunan ini
dikuatkan oleh Herujati (2008:134), bahwa
kohesi leksikal (lexical cohesion) melibatkan relasi makna leksikal antara kata
(vocabulary). Herudjati tidak membedakan antara kohesi leksikal dan gramatikal karena
perbedaannya bersifar bergradasi/bertingkat.
Menurut
Achmad (2005:27), aspek leksikal adalah kata atau frasa yang memautkan atau
menghubungkan kalimat-kalimat
dengan pemarka leksikal.
Beberapa
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek leksikal dapat membentuk suatu
keutuhan wacana.
F. Jenis-Jenis Kohesi Leksikal
Alwi
(2000: 431) menyatakan; kohesi leksikal wacana bisa dibentuk oleh hubungan
hiponimi, hubungan bagian keseluruhan, hubungan keseluruan bagian (yang
bersifat wajib dan manasuka).
Dalam
Halliday dan Hasan (1976), kohesi leksikal hanya terdiri dari dua bagian, yaitu
reiterasi (mencakup repetisi, sinonim, superordinat, dan unsur umum), dan
kolokasi. Nunan (1992:14) mengatakan bahwa kohesi leksikal dapat memberikan
suatu alat yang amat berguna untuk meneliti pengembangan kosakata para
pemelajar bahasa.
Seperti
halnya Nunan, (2004:129) membagi peranti kohesi leksikal menjadi dua bagian
yaitu reiterasi, dan kolokasi. Reiterasi (pengulangan) yaitu piranti kohesi
yang digunakan dengan mengulang suatu preposisi atau bagian dari preposisi.
Jenis-jenis reiterasi antara lain: (1) Repetisi (ulangan). Repetisi digunakan
untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat. (b) Hiponim. Kajian antarkalimat
mengenal kata superordinat yang mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang
terjadi pada kata subordinat disebut ulangan dengan hiponim. Suatu hal yang
berdekatan atau berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan sebagai
suatu kesatuan. Seperti ikan dan air, sering diasosiasikan sebagai suatu
kesatuan. Kondisi seperti ini disebut kolokasi.
Kedua
pendapat di atas digabungkan seperti pembagian aspek leksikal yang lebih
terinci menurut Acmad (2005 :26), bahwa
aspek leksikal dapat membentuk suatu keutuhan wacana, yang terdiri dari:
Reiterasi.
Reiterasi (pengulangan) yaitu piranti kohesi yang digunakan dengan mengulang
suatu preposisi atau bagian dari preposisi untuk menciptakan hubungan kohesif.
Reiterasi dirinci atas:
Repetisi.
Repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat)
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan
mengulangi sebagian kalimat seperti kata, frasa, atau klausa pada kalimat
sesudahnya (Achmad:2005). Contoh:
Bahasa yang baku pertama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan
suatu masyarakat bahasa yang bermacam-macam dialeknya.
Bahasa yang baku akan
mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh
karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya
suatu bahasa Nusantara.
Pengulangan
(Repetisi) dibagi lagi menjadi:
Pengulangan
sama tepat. Pengulangan sama tepat terjadi apabila unsur pengulangan sama
dengan unsur yang diulang, hanya pada umumnya unsure pengulang diikuti unsur
petunjuk itu, ini, dan tersebut (Achmad:2005).
Contoh:
Janganlah
berbohong.
Berbohong itu dosa.
Pengulangan
dengan perubahan bentuk. Pengulangan dengan perubahan bentuk yaitu perubahan
bentuk yang disebabkan oleh perubahan tata bahasa. Misalnya karena unsure
diulang berupa kata kerja dan unsure pengulangannya berupa kata benda. Contoh
kata kerja bentuk di- berubah menjadi kata benda bentuk pe-N-an (Acmad:2005).
Contoh
:
-
Bung Karno dan Bung Hatta dijuluki Sang Proklamator RI.
-
Julukan itu tak akan hilang sampai kapan pun.
(c)
Pengulangan parafrase. Pengulangan paraphrase adalah pengulangan kembali suatu
konsepsi dengan bentuk yang berbeda. Jadi pengulangan paraphrase adalah
pengulangan yang unsure pengulangannya berparafrase dengan unsur terulang (Achmad:2005).
Contoh:
-
Maradona dijuluki ‘Si tangan Tuhan’.
-
Maradona sanggup mencetak gol dengan tangannya tanpa diketahui wasit.
Sinonim.
Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata
atau lebih memiliki makna yang sama (Keraf:2001:34). Sinonim secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani kuno; yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan ‘syn’ yang
berarti ‘dengan’. Secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda
atau hal yang sama’. Secara semantic diidentifikasikan sebagai ungkapan (bias
berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain (Chaer:2002). Sama halnya dengan Tarigan yang berpendapat bahwa
‘Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain,
kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, dan kalimat.
Hiponim.
Hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo
berarti ‘di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah
nama lain’. Unsur hiponim yang mencakupi
makna unsur yang lain disebut superordinat dan unsur yang lain disebut
subordinat. Lebih lanjut Chaer (2005: 98) mengatakan bahwa ‘hiponim adalah kata
atau frasa yang maknanya termasuk dalam makna kata atau frasa lain. Hiponim
dapat juga digunakan untuk mnyatakan hubungan kalimat yang satu dengan kalimat
yang lain. Mulyono (1998) juga berpendapat bahwa hiponim adalah hubungan antara
kata yang maknanya spesifik dengan yang maknanya umum.
Beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hiponim adalah hubungan pengulangan
kata atau frasa dalam kalimat dengan kata atau frasa dalam kalimat lain yang
maknanya lebih spesifik.
Contoh:
-
Para ekonom memandang hidup dengan kacamata untung dan rugi saja.
-
Akuntan tentu andai memperhitungkan untung rugi suatu usaha.
Metonimia.
Metonimia adalah bagian dari pengulangan yang bermakna sebutan bagi orang,
benda, tempat, atau nama mereka tertentu yang dianggap popular dan dekat dengan
masyarakat. Metonimia berasal dari bahasa Yunani kuno ‘meta’ bertukar dan onym
nama adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama ssesuatu barang bagi
sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia sesuatu barang
disebutkan tetapi barang yang dimaksud barang yang lain.
Metonimia
adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan
dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut
pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya
ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksud barangnya (Achmad:2005).
Contoh:
Penjahat itu sedang beraksi di
lampu merah.
Kapak merah sedang memeras
sopir mobil mewah.
Sebutan
‘kapak merah’ pada kalimat kedua merupkan sebutan bagi penjahat yang ada pada
kalimat sebelumnya.
Antonim.
Antonim
adalah nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang
maknanya berlawanan dengan lingual yang lain. Antonim adalah ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frasa yang
maknanya berlawanan, beroposisi atau kontras dengan kata atau frasa lain dapat
digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain di dalam suatu
pertuturan. (Chaer:2002:88). Seperti kata ‘bagus’ berantonim dengan kata
‘buruk’. Kata besar berantonin dengan kata
kecil, dan sebagainya.
Contoh:
Andi
sekarang makin bergaya.
Chevrolet itu dibelinya dengan
uang warisan orangtuanya.
Kolokasi. Piranti atau pemarkah kohesi
leksikal yang kedua adalah kolokasi. Kolokasi artinya makna yang ada dalam
lingkungan yang sama (Achmad:2005) Semua hal yang selalu berdekatan atau
berdampingan engan yang lain biasanya diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Berdasarkan
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
kolokasi adalah hubungan makna yang dikemukakan karena adanya kesamaan tema
atau gagasan yang ada dalam lingkungan yang sama. Kolokasi dibedakan atas
kolokasi penuh dan ekuivalensi leksikal.
Kolokasi
penuh. Kolokasi penuh adalah pengulangan kata tau frasa pada kalimat sebelumnya
yang ada dalam lingkungan yang sama.
Contoh:
- Program wajib belajar 9 tahun
didukung penuh oleh masyarakat.
- Diharapkan mutu pendidikan Indonesia
dapat meningkat sejajar dengan
bangsa lain.
Ekuivalensi
leksikal. Ekuivalensi leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat
sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Contoh:
Mira
Lesmana pernah menolak pemberian
piala citra beberapa tahun lalu.
Penolakan itu didukung oleh
sutradara muda lainnya.
Dari
beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan semantik
antarelemen dalam wacana (cerpen) menimbulkan suatu kohesi leksikal.
G. Pidato
Pidato
adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan
pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya
dibawakan oleh seorang yang memberikan orasi-orasi, dan pernyataan tentang
suatu hal/peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan.
Pidato
yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar
pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan umum
dapat membantu untuk mencapai jenjang karier yang baik. Contoh pidato yaitu
seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit
semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Dalam
berpidato, penampilan, gaya bahasa, dan ekspresi kita hendaknya doperhatikan
serta kita harus percaya diri menyampaikan isi dari pidato kita, agar orang
yang melihat pidato kita pun tertarik dan terpengaruh oleh pidato yang kita
sampaikan.
Analisis wacana merupakan sebuah
kajian terhadap unit kebahasaan di atas kalimat yang digunakan secara lisan
maupun tulisan untuk mengkomunikasikan suatu maksud, ide, atau pesan. Fokus
penelitian ini adalah penggunaan pemarkah kohesi leksikal dalam wacana cerpen koran Kompas.
Untuk memperoleh data, peneliti
membaca berulang-ulang teks pidato DR. KH. Zaenudin MZ. yang berjudul
“Reformasi Aqidah Bagian 1” yang penulis catat dari rekaman MP3.
Data berupa pasangan kalimat dari teks pidato dan dianalisis
berdasarkan aspek kohesi leksikal pada tabel kerja.
Berdasarkan acuan teori di atas wacana merupakan satuan
yang terlengkap dan terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kepaduan
(kohesi) dan kerapian (koherensi), yang mempunyai awal dan akhir yang nyata
disampaikan secara lisan atau tertulis. Kepaduan makna dan kerapian
bentuk merupakan faktor penting untuk menentukan tingkat keterbacaan dan
keterpahaman wacana. Kepaduan dan kerapian merupakan unsur hakikat wacana,
unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Kohesi mengacu kepada aspek bahasa
(language), dan koherensi kepada aspek ujaran (speech). Aspek bahasa
menggambarkan bagaimana caranya proposisi-proposisi saling berhubungan satu
sama lain untuk membentuk suatu teks; sedangkan aspek ujaran yang menggambarkan
bagaimana caranya proposisi-proposisi yang tersirat disimpulkan untuk
menafsirkan tindak ilokusi dalam pembentukan suatu wacana.
Kohesi merupakan wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti pula
bahwa kohesi merupakan hubungan antar kalimat di dalam sebuah wacana, baik
dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky,
1976:26). Suatu wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian
secara bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa;
sebagai lawan konteks atau situasi-luar bahasa). Dengan perkataan lain,
ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan konteks akan
menghasilkan teks yang tidak kohesif. Sarana-sarana kohesif dibagi ke dalam
dua kategori, yaitu : (1) Kohesi
Leksikal dan (2) Kohesi gramatikal.
Kohesi leksikal diperoleh dengan
cara memilih kosa kata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek
leksikal kohesi ini yatu dengan cara
reiterasi dan kolokasi.
Reiterasi
(pengulangan) yaitu peranti kohesi yang digunakan dengan mengulang suatu
preposisi atau bagian dari preposisi untuk menciptakan hubungan kohesif.
Reiterasi dirinci atas:
Repetisi.
Repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat)
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai, Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan
mengulangi sebagian kalimat seperti kata, frasa, atau klausa pada kalimat
sesudahnya. Pengulangan (Repetisi) dibagi lagi menjadi: pengulangan sama tepat
dan pengulangan dengan perubahan bentuk, dan pengulangan paraprase.
Sinonim.
Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata
atau lebih memiliki makna yang sama.
Hiponim. Hiponim adalah hubungan antara kata
yang maknanya spesifik dengan kata yang maknanya umum.
Metonimia.
Metonimia adalah bagian dari pengulangan yang bermakna sebutan bagi orang,
benda, tempat, atau nama mereka tertentu yang dianggap popular dan dekat dengan
masyarakat. Metonimia adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau
nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai
penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita
maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita
maksud barangnya (Achmad:2005).
Antonim.
Antonim
adalah nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang
maknanya berlawanan dengan lingual yang lain. Antonim adalah ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frasa yang
maknanya berlawanan, beroposisi atau kontras dengan kata atau frasa lain dapat
digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain di dalam suatu
pertuturan.
Kolokasi artinya makna yang ada
dalam lingkungan yang sama (Achmad:2005).
Kolokasi dibedakan atas 2 jenis, yaitu:
Kolokasi penuh. Kolokasi penuh adalah
pengulangan kata tau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam lingkungan
yang sama.
Ekuivalensi
leksikal. Ekuivalensi leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat
sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Teks
pidato adalah sebuah wacana yang diungkapkan melalui penggunaan bahasa, yang di
dalamnya terdapat bahasa bersayap,
dialog. Setiap wacana yang baik akan memenuhi persyaratan kohesi, salah
satunya adalah kohesi leksikal yang mencakup reiterasi dan kolokasi.
III. Temuan
dan Pembahasan
1. Temuan
a. Deskripsi
Data Hasil Penelitian
Deskripsi data dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang data yang diteliti. Data yang diteliti adalah 85
pasang kalimat dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. diteliti aspek kohesi
leksikalnya yang mencakup: (1) Deskripsi data aspek kohesi leksikal perjudul,
dan (2) Deskripsi data aspek kohesi leksikal seluruh judul. Data-data tersebut
disajikan dalam bentuk tabel.
b. Deskripsi
Data Aspek Kohesi Leksikal
TABEL 1.
Analisis Aspek Kohesi Leksikal Teks Pidato
DR. KH. Zaenudin MZ.
NO.
|
ASPEK
KOHESI
LEKSIKAL
|
JUMLAH
TEMUAN
|
PROSENTASE
|
1.
|
Reiterasi
a.
Repetisi
|
27
|
38,57 %
|
Sinonimi
|
0
|
0 %
|
|
Hiponimi
|
7
|
10 %
|
|
Metonimia
|
7
|
10 %
|
|
Antonimi
|
4
|
5,71 %
|
|
2
|
Kolokasi
a.
Kolokasi Penuh
|
15
|
21,43 %
|
b.Ekuivalensi
Leksikal
|
10
|
14,29 %
|
|
Jumlah
|
70
|
100 %
|
2. Pembahasan
a. Aspek
Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan
lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tabel 1
diperoleh informasi bahwa dari 85 pasang
kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 27 atau 38,57 % pasang
kalimat yang menggunakan aspek kohesi leksikal sinonimi .
Data 12
Jadi,
kalau ada strum, bunyi dong.
Kalau ada strum lampunya nyala,
dong!
X
Analisis:
Prasa
Nomina kalau ada strum (x) pada
kalimat 2 merujuk pada
frasa nomina kalau ada strum(x)
pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat
2 dan 1 membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh aspek kohesi leksikal repetisi
2). Sinonimi
Sinonim
adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata
atau lebih memiliki makna yang sama. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR.
KH. Zaenudin MZ, tidak ada aspek kohesi
leksikal sinonimi yang digunakan.
3). Aspek
Hiponim
Hiponim
adalah hubungan pengulangan kata atau frasa dalam kalimat dengan kata atau
frasa dalam kalimat lain yang maknanya lebih spesifik. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR.
KH. Zaenudin MZ, terdapat 7 atau 10 % pasang kalimat yang menggunakan aspek
kohesi leksikal hiponimi, seperti pada contoh:
Data 5
1.
Membebaskan manusia dari kemusryikan.
x
2.
Menyelamatkan manusia dari ketergantungan kepada benda.
x
Analisis:
Klausa ketergantungan
kepada benda (x) pada kalimat 2 merujuk
pada nomina kemusyrikan(x) pada
kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat
2 dan 1 membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh aspek kohesi leksikal
hiponimi.
4). Aspek
Metonimia
Metonimia
adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan
dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR.
KH. Zaenudin MZ, terdapat 7 pasang kalimat atau 10 % data yang menggunakan
aspek kohesi leksikal metonimia, seperti pada:
Data : 19
1.
Narkoba meracuni remaja dan pemuda-pemudi kita.
x
2.
Padahal dua-duanya sumber segala macam kemaksiatan.
x
Analisis:
Klausa
adverbia sumber segala macam kemaksiatan
(x) pada kalimat 2 merujuk pada nomina Narkoba
(x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat
2 dan 1 (data 19) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi
leksikal metonimia.
5. Aspek Antonimi
Antonimi adalah nama lain untuk
benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan
lingual yang lain.
Berdasarkan tabel 1 diperoleh
informasi bahwa dari 85 pasang kalimat
Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 4 atau 5,71 % pasang kalimat yang
menggunakan aspek kohesi leksikal antonimi, seperti pada:
Data 15:
Kalau
pondasi kuat apapun yang mau dibangun aman.
x
Kalau
pondasi rapuh, apa yang mau dibangun di atas fondasi yang rapuh.
x
Analisis:
Frasa
nomina fondasi yang rapuh (x ) pada kalimat 2 merujuk pada frasa nomina fondasi kuat (x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1
(data 15 ) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi
leksikal antonimi.
6.
Aspek Kolokasi Penuh
Kolokasi
penuh adalah pengulangan kata atau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam
lingkungan yang sama. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR.
KH. Zaenudin MZ, terdapat 15 pasang kalimat atau 21,43 % yang menggunakan aspek
kohesi leksikal kolokasi penuh, seperti contoh:
Data 6
Tiga
belas tahun beliau berjuang di kota makkah hanya untuk menanamkan
x
Lailahailallah Muhammadarasulullah, dari sana segalanya
dimulai.
x
Analisis:
Kalimat Dari
sana segalanya dimulai (x), pada kalimat 2 merujuk pada kalimat beliau
berjuang di kota makkah hanya untuk menanamkan Lailahailallah Muhammadarasulullah (x) pada kalimat
satu.
Kesimpulan:
Kalimat
2 dan 1 (data 6) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi
leksikal kolokasi penuh.
7. Aspek Ekuivalensi Leksikal
Ekuivalensi
leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat sebelumnya dengan
kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Berdasarkan tabel 1 diperoleh
informasi bahwa dari 85 pasang kalimat
Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 10 pasang kalimat (data) atau 14,29 % yang menggunakan aspek kohesi
leksikal kolokasi penuh, seperti contoh:
Data 13:
Kalau ada iman sujud, kalau ada iman, jihad, dong.
x
Seluruh amaliah kita hanya
refleksi dari nilai-nilai keimanan.
x
Analisis:
Klausa
seluruh amaliah kita (x) pada
kalimat 2 merujuk pada kalimat Kalau ada
iman sujud, kalau ada iman jihad, dong.(x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat
2 dan 1 (data 13) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi
leksikal ekuivalensi leksikal.
3. Keterbatasan Penelitian
Penulis
menyadari analisis penelitian yang dilakukan masih memiliki kekurangan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasa antara lain:
a.
Penelitian hanya terbatas pada aspek kohesi leksikal.
b.
Obyek penelitian hanya 1 teks rekaman dari sekian rekaman yang ada.
c.
Keterbatasan waktu dan keilmuan penulis.
IV.
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Hasil penelitian berdasarkan
mekanisme pemarkah kohesi leksikal antar pasangan kalimat yang menandai tingkat
kohesi Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. yang berjumlah 85 pasang kalimat, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Aspek kohesi leksikal yang digunakan Teks
Pidato DR. KH. Zaenudin MZ adalah repetisi,
hiponim, metonimia, antonim, kolokasi penuh dan ekuivalensi leksikal.
2. Aspek kohesi leksikal yang tidak digunakan Teks
Pidato DR. KH. Zaenudin MZ adalah sinonimi.
3. Pemakaian aspek kohesi leksikal
dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ sebanyak 85 data pasangan kalimat dari 259 data.
Persentase penggunaan aspek kohesi leksikalnya mempunyai urutan sebagai
berikut: (1) repetisi sebanyak 27 atau 38,57 %, (2) hiponimi sebanyak 7 atau 10
%, (3) metonimi sebanyak 7 atau 10%, (4) antonimi sebanyak 4 atau 5,71%, (5) kolokasi
penuh sebanyak 15 atau 21,43%, (6) ekuivalensi leksikal sebanyak 10 atau 14,29%.
Aspek kohesi leksikal yang tidak digunakan adalah sinonimi.
Kesimpulan tersebut menunjukkan
bahwa:
a. Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ sudah menggunakan aspek kohesi leksikal dengan
mekanisme pemarkah atau aspek kohesi leksikal yang dinyatakan oleh Halliday dan
Hasan (1976), Gutwinski (1976), Kridalaksana (1978), dan Achmad (2008).
b. Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ adalah wacana tulis yang padu (kohesif). Hal
ini ditunjukkan oleh tingginya prosentase pemakaian aspek kohesi leksikal yang
menjadi ciri bahasa tulisan dengan
tingkat kohesi teks pidato mencapai 83,60% ( 85 data dari 259 data pasangan kalimat).
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi,Hasan,
dkk.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Edisi
III.Jakarta:Balai Pustaka. 2000.
Brown,
G dan George Yule. Discourse Analysis.
Cambridge University Press:1983
Bungin,
Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. 2007.
Gutwinski,
Valdemar. Cohesion in literary texts.
The Hague: Mouton.1976.
Halliday,
M.Ak dan Ruqaiyah Hasan. Bahasa, Konteks
dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.1992.
HP,
Achmad. Cakupan Studi Analisis Wacana.
Jakarta: UNJ 1988.
------- Wacana
Dan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: UNJ 2000.
-------
Modul Aspek Kohesi Wacana. Jakarta:
UNJ.2005.
-------
Kuliah Analisis Wacana, Jakarta: PPS
Unindra PGRI, Desember 2008.
Kridalaksana,
Harimurti. Seminar : Wacana Dewasa Ini.
Jakarta. UNJ.2004
Moeliono,
Anton M dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia dalam Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta:
Pustaka Cakra.1988.
Nunan,
David. Mengembangkan Pemahaman Wacana.
Jakarta:PT. Rebia Indah Prakasa.1992.
Nurgiyantoro,
Burhan. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta:Gajah Mada University Press. 2002.
Renkema,
J. Discourse Studies. Amsterdam:
John Benjamin Publishing Company.1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar