Rabu, 28 September 2011

ANALISIS WACANA


KOHESI LEKSIKAL
DALAM TEKS PIDATO DR. KH. ZAENUDIN MZ.

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Siapa yang tidak kenal Bung Karno, sang orator ulung. Kita baca dalam sejarah bagaimana orang-orang yang mendengar bapak proklamator republik Indonesia ini mampu menghipnotis pendengarnya karena kedahsyatan beliau dalam berpidato.
Pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya dibawakan oleh seorang yang memberikan pernyataan tentang suatu hal atau peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan. Pidato juga merupakan salah satu teori dari pelajaran bahasa indonesia.
Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan umum dapat membantu untuk mencapai jenjang karier yang baik. Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Dalam berpidato, penampilan, gaya bahasa, dan ekspresi kita hendaknya doperhatikan serta kita harus percaya diri menyampaikan isi dari pidato kita, agar orang yang melihat pidato kita pun tertarik dan terpengaruh oleh pidato yang kita sampaikan.
Penelitian ini diawali dengan kekaguman penulis terhadap pidato-pidato almarhum DR. KH. Zaenudin MZ. Sejak duduk di bangku SD telah mengenal almarhum karena sering mengundang beliau dalam peringatan hari besar keagamaan di Masjid Jami Al Ihsan Lebak Bulus tempat penulis tinggal sekitar tahun 80-an.
Sejak tahun 80-an almarhum DR. KH. Zaenudin MZ. Telah aktif berdakwak dari masjid ke masjid. Pada tahun-tahun 80-an almarhum memang sudah terkenal namanya sebagai pendakwah yang ceramahnya enak di dengar, tetapi beliau belum terkenal sebagai ’dai sejuta umat’. Nama almarhum mencuat sebagai seorang penceramah ulung dan dikenal  sebagai dai yang selalu diharapkan kehadirannya untuk didengar ceramah-ceramahnya yang enak didengar, tidak membosankan, karena kepiawaiannya berceramah atau berpidato.
Sebagai mahasiswa yang sedang mempelajari ilmu bahasa, penulis ingin meneliti pidato atau ceramah yang dibawakan almarhum DR. KH. Zaenudin MZ. Yang banyak mengundang banyak perhatian masyarakat. Selama ini, data berupa teks pidato almarhum sulit diperoleh, karena sumber data yang ada kebanyakan berupa rekaman dalam bentuk MP3. Untuk menelitinya penulis memindahkan isi rekaman yang didengar dalam bentuk teks dari rekaman yang ada. Teks pidato yang dicatat adalah rekaman ceramah almarhum yang berjudul ”Reformasi Aqidah bagian 1, yang direkam pada bulan Ramadhan tahun 2002, yang di download dari internet.
Selama ini kita mendengar ceramah atau pidato almarhum DR. KH. Zaenudin MZ, yang terkenal karena keahliannya merangkai kata dan kalimat sehingga menjadi pidato yang enak didengar. Pidato beliau juga mudah dicerna dan penuh dengan lawakan segar, sehingga banyak orang dan para pemerhati bahasa mengakuinya. Apakah jika diteliti dalam kajian wacana, pidato almarhum dapat dikatagorikan sebagai wacana yang baik yaitu memenuhi aspek kekohesian dan kekoherenan. Inilah yang melandasi tulisan penelitian kecil ini.
Kegiatan analisis teks pidato DR. KH. Zaenudin MZ. Ini  berkonsentrasi pada hubungan bentuk antar bagian wacana yang disebut kohesi (Pratomo,2002:17), karena keterbatasan waktu yang tersedia. Analisis kewacanaan yang penulis lakukan difokuskan pada analisis kohesi leksikal Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. yang meliputi  reiterasi dan kolokasi. Hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas analisis wacana.
Keberadaan aspek leksikal dalam wacana cerpen diketahui akan dapat membangun sebuah wacana menjadi kohesif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa segi bentuk merupakan struktur lahir dari bahasa yang mencakup aspek gramatikal, sedangkan segi makna adalah struktur batin bahasa yang mencakup aspek leksikal.
Analisis wacana muncul sebagai upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat fitur-fitur bahasa yang tidak cukup jika hanya dianalisis dengan menggunakan aspek struktur dan maknanya saja. Oleh karena itu, melalui analisis wacana dapat diperoleh penjelasan mengenai korelasi antara apa yang diujarkan, apa yang dimaksud, dan apa yang dipahami dalam konteks tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Cutting dalam Tarigan (2002:5) yang mengatakan bahwa analisis wacana merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakanginya. Lebih rinci lagi Stubbs (1983:16) mengemukakan bahwa analisis wacana:
“attempts to study the organization of language above the sentence or the clause, and therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchanges or written texts. It follows that discourse analysis is also concerned with language in use in social contexts, and in particular with interaction or dialogue between speakers ”.
Penulis berharap analisis wacana Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. ini mampu membawa kita mengkaji latar sosial dan latar budaya penggunaan suatu bahasa. Dengan kata lain, kegiatan analisis wacana ini mampu meneliti bahasa lebih dari sekedar menggambarkannya, tetapi dapat pula membantu kita memahami aturan-aturannya yang menjadi bagian dari pengetahun pengguna bahasa yang tercermin dalam komunikasi sehari-harinya serta dapat dijadikan salah satu sumber belajar kegiatan analisis wacana teks pidato di masa yang akan datang.
B. Identifikasi Masalah
1.  Bagaimana penggunaan  aspek kohesi dalam  Teks Pidato DR. KH. Zaenudin
     MZ?
2.  Bagaimana penggunaan aspek kohesi leksikal dalam Teks Pidato DR. KH.
     Zaenudin MZ?
3. Bagaimana penggunaan aspek kohesi leksikal reiterasi dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ?
4. Bagaimana penggunaan aspek kohesi leksikal kolokasi dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ?
II . LANDASAN  TEORI
A. Hakikat Wacana
Peristiwa komunikasi baik lisan dan tulisan, pembicara atau penulis menyampaikan ide, gagasan, dan pilsafat hidupnya dengan menggunakan bahasa. Achmad (2000:3), mengemukakan pengertian wacana dengan lebih ringkas dengan ‘rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi’.
Bahasa sebagai alat komunikasi terdiri atas jalinan kalimat. Kalimat pertama dijalin kalimat berdua, kalimat kedua menjadi perangkai kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali pada kalimat pertama, dan seterusnya. Rangkaian kalimat yang saling berjalinan sangat dibutuhkan untuk menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lain sehingga tercipta komunikasi yang baik dan logis. Jalinan antar kalimat itu dapat membentuk satuan yang lebih besar yang dinamakan wacana. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hasan Alwi yang menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lain dan membentuk kesatuan (2000:419). Oleh karena itu kalimat-kalimat memerlukan kesinambungan untuk membentuk kesatuan makna sehingga mudah dicerna oleh pembaca dan pendengar.
Menurut Herujati, P (2008;3),  aneka macam ekspresi verbal yang berupa teks tertulis bisa disebut wacana (discourse), termasuk di dalamnya cerpen berupa teks yang bersifat imajiner, karena cerpen menuntut tindakan interaksi antara pembaca dan penulis, tanpa memperhitungkan ukuran formalnya yaitu panjang pendeknya.
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Kridalaksana yang menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa tertinggi dan terlengkap dalam hierarki gramatikal (Kridalaksana,193:231). Tingkatan dalam hierarki kebahasaan meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Sebagai tingkatan tertinggi dalam hierarki kebahasaan, wacana ukan merupakan susunan kalimat acak namun merupakan suatu bahasa yang tersusun secara padu dan utuh.
Selanjutnya, Renkema (1993:39) mengatakan bahwa untuk mempertimbangkan apakah satuan lingual itu dapat dikatakan sebagai wacana utuh dibutuhkan tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu ialah: (1) kekohesian, yaitu hubungan yang dihasilkan pada saat interpretasi suatu unsur bergantung pada unsur lain di dalam teks. Ini berarti bahwa kekohesian menyangkut hubungan semantis antarunsur di dalam teks; (2) kekoherensian, yaitu hubungan yang didasari oleh sesuatu yang datangnya dari luar teks. Sesuatu tersebut mengacu pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penutur atau petutur; (3) keintensionalan, menyangkut tujuan dan fungsi bahasa yang dimiliki partisipan dalam berkomunikasi; (4) keberterimaan, mengacu pada rangkaian kalimat yang berterima dan dapat dipahami oleh interlokutor (petutur/pembaca) agar dapat dikualifikasikan sebagai teks; (5) keinformatifan, berarti bahwa suatu teks harus memuat informasi-informasi baru dan harus dapat dipahami oleh interlokutor; (6) kesituasionalan, menyangkut situasi tempat dan waktu teks tersebut dihasilkan; dan (7) keintertekstualan, mengacu pada keterhubungan suatu wacana dengan wacana lain yang telah diketahui. Dari ketujuh kriteria itu, dua hal yang paling mendasar dan menjadi perhatian banyak pihak adalah kekohesian dan kekoherensian.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satu kesatuan dari peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keterkaitan hubungan antara unsure-unsur bahasa dan unsure-unsur makna, sehingga wacana yang dihasilkan utuh.
B.  Jenis-Jenis Wacana
Wacana harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Hal yang senada  tentang jenis wacana berdasarkan sarana atau media penyampaiannya disampaikan oleh Achmad (2000:1) yaitu:
Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan secara tertulis melalui media tulis dan untuk menerima, memahami, atau menikmatinya, maka penerima harus membacanya.
Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerima, memahami, dan menikmati wacana lisan ini, maka penerima harus menyimak atau mendengarkannya.
Fungsi bahasa yang paling utama dalam kehidupan adalah sebagai alat komunikasi. Dengan berkomunikasi manusia dapat saling bersosialisasi. Dalam hubungannya dengan komunikasi, Achmad (2000:1) membagi wacana berdasarkan sifatnya yaitu wacana transaksional dan interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang mengutamakan isi komunikasi. Wacana lisan transaksional dapat berupa pidato, ceramah, dakwah, deklamasi, dan sebagainya. Sedangkan wacana transaksional yang berujud tulisan, dapat dilihat pada iklan, surat, cerita, esei, makalah, tesis, dan sebagainya.
Wacana interaksional adalah wacana yang bersifat timbal balik antara pembicara dengan pendengar. Wacana lisan interaksional misalnya percakapan, dialog, debat, tanya jawab. Sedangkan wacana tulisan interaksional banyak dijumpai pada surat menyurat (korespondensi) antara dua orang, polemik dan sebagainya. Pembagian wacana yang serupa dikemukakan oleh Leech  (2005:93-94), yaitu:    
Wacana diklasifikasi  atas wacana ekspresif, wacana fatis, wacana informasional, wacana estetik, serta wacaa direktif. Wacana eksresif adalah bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi. Contohnya wacana pidato. Wacana fatis yaitu wacana yang bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, misalnya wacana perkenalan dalam pesta. Wacana informasional merupakan wacana yang bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana  berita dalam media masa. Wacana direktif yaitu wacana yang diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, misalnya wacana khotbah.
Berdasarkan pemaparan Kushartanti dkk, (2005:94-95), klasifikasi jenis wacana secara umum, yaitu:
Wacana naratif, dicirikan oleh adanya alur, peristiwa dan tokoh, misalnya pada narasi factual (berita), dan narasi fiktif (cerpen).
Wacana deskriptif, dicirikan oleh adanya detail suatu hal, seperti pada profil.
Wacana ekspositoris, dicirikan oleh kuatnya paparan informasi, seperti pada karangan khas (feature).
Wacana argumentative, dicirikan oleh kuatnya argumentasi karena didukung oleh eksplorasi bukti dan prosedur metodologis, seperti pada tesis dan disertasi.
Wacana persuasif, dicirikan oleh menonjolnya rangsangan dan bujukan dari penutur atau penulis agar mitra tutur atau pembaca mengikuti apa yang diharapkan penutur atau penulis, seperti pada iklan.
Berdasarkan jenis-jenis wacana yang diklasifikasikan di atas, maka wacana yang diteliti dalam penelitian ini merupakan wacana transaksional (noninteraktif) dalam bentuk cerpen, karena pada wacana ini yang dipentingkan adalah hubungan formal antarkalimat pembentuk paragraf dalam suatu wacana yang disampaikan oleh penulis kepada pesapa yaitu pembaca.
C. Hakekat Kohesi
Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merupakan hubungan formal antarkalimat  pembentuk paragraf.
Dalam penulisan karangan kohesi sangat penting digunakan. Kohesi adalah bagaimana setiap kata saling bertautan, suatu kalimat bertautan dengan kalimat lain, begitu juga dengan paragraf. Pragraf yang satu juga harus bertautan dengan paragraf  berikutnya. Apabila semuanya sudah saling bertautan, maka secara keseluruhan karangan tersebut merupakan karangan yang baik. Sebuah karya tulis dikatakan kohesif jika berhubungan dari kalimat ke kalimat dan dari paragraf  ke paragraf.
Menurut Halliday dan Hasan (1976: 4-10), kohesi sebenarnya adalah konsep yang menyangkut hubungan semantis antarelemen dalam suatu teks. Senada dengan Hasan dan Halliday, Herujati,P,(2008:133), menjelaskan bahwa kohesi merupakan konsep yang bersifat semantik yang merujuk pada hubungan makna yang terdapat dalam sebuah teks.
Secara lebih lengkap Achmad (2000:7) menguraikan ketergantungan gramatikal yang dimaksud yaitu aspek yang menjelaskan keterkaitan kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf, bab dengan bab dalam sebuah wacana.
Sedangkan munurut Nunan, kohesi adalah hubungan pembentuk teks yang tidak terikat oleh kendala tataran klausa. Pengertian kohesi oleh Nunan mempunyai kesamaan dengan pengertian kohesi oleh Renkema. Menurut Renkema (1993:35), kohesi pada dasarnya berkaitan erat dengan aspek semantis antarunsur di dalam teks. Kohesi merupakan hubungan yang diciptakan sebagai hasil ketika interpretasi suatu unsur tekstual bergantung pada unsur lain di dalam teks. Dengan kata lain, kajian kohesi mengindikasikan bahwa makna yang digambarkan di dalam teks adalah makna yang diinterpretasikan oleh penutur dan petutur berdasarkan kesimpulan yang mereka buat tentang hubungan proposisi yang melandasi apa yang diujarkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kohesi merupakan hubungan makna antara kalimat yang satu dengan lainnya dalam paragraf khususnya dalam wacana yang direalisasiskan dalam bentuk ikatan dengan penanda linguistik formal (gramatikal dan leksikal).
D. Jenis-Jenis Peranti Kohesi
Halliday dan Hasan (1976) menawarkan unsur yang dapat membangun keutuhan (kohesi) teks yang dapat dicermati oleh pembuat teks, yakni unsur semantis, gramatikal, serta leksikal. Unsur tersebut meliputi referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, serta kohesi leksikal. Unsur tersebut dapat diproyeksikan oleh pembuat (penulis maupun penutur) teks. Yang perlu dipahami di sini bahwa kohesi adalah kesatuan semantis dari suatu teks dalam kaitannya dengan konteks situasi. Hal tersebut berterima sehingga membangun keutuhan teks. Dalam hal itu, Halliday dan Hasan tidak mempersoalkan istilah koherensi karena pengertiannya sudah tercakup dalam arti kohesi tersebut.
Halliday dan Hasan (1976) membagi kohesi ke dalam lima jenis. Kelima jenis tersebut adalah (1) substitusi, yaitu penyulihan suatu kata atau kelompok kata oleh kata lain untuk tujuan tertentu; (2) referensi, yaitu hubungan pengacuan suatu unsur dengan unsur lain baik yang muncul sebelumnya, sesudahnya, atau bahkan di luar teks; (3) elipsis, yaitu pelesapan suatu kata atau bagian dari kalimat yang dilakukan untuk kepaduan wacana; (4) konjungsi; yaitu hubungan yang mengindikasikan bagaimana sebuah kalimat atau klausa dihubungkan dengan kalimat atau klausa lain; dan (5) kohesi leksikal, yaitu hubungan semantik antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Dalam hal ini tidak menyangkut hubungan gramatikal tetapi hubungan tersebut didasari oleh makna kata yang digunakannya. Terdapat dua wujud kohesi leksikal, yaitu reiterasi dan kolokasi.
Samsuri (1978:36-46) mengatakan bahwa peranti kohesi itu meliputi (1) hubungan sebab akibat, (2) pronominal hubungan anaphora dan katafora), (3) pemarkah hubunga lanjutan dan pemarkah formal hubunga konjungtor, (4) pengulangan kata atau frasa, (5) pergantian leksikal, (6) substitusi, (7) bentuk ellipsis, dan (8) metafora. Bentuk seperti ini dikatakan sebagai peranti kohesi gramatikal. Sedangkan pemarkah kohesi leksikal meliputi (1) hiponim, (2) hubungan bagian-keutuhan, (3) kolokasi, (4) perbandingan, dan (5) pengulangan sintaktik.
Ramlan (1993:11-32) membahas pemarkah hubungan antar kalimat (kohesi) dan pertalian makna antar kalimat (koherensi) dalam Bahasa Indonesia menjadi lima bagian, yaitu (1) penunjukan, (2) pergantian, (3) pelesapan, (4) perangkaian, dan (5) peranti leksikal, yang dibedakan menjadi tiga yaitu (a) pengulangan, (b) sinonimi, dan (c) hiponimi.
Sementara itu Kridalaksana (1982:179), membicarakan kohesi Bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan keutuhan wacana mengatakan bahwa ada empat aspek yang membentuk keutuhan wacana, yaitu : (1) aspek semantik,(2) aspek leksikal, (3) aspek gramatikal, dan (4) aspek fonologis. Lebih lanjut Kridalaksana mengatakan bahwa secara garis besar pemarkah kohesi dibagi menjadi dua aspek,  yaitu aspek gramatikal yang meliputi (1) konjungsi, (2) ellipsis, (3) pararelisme, (4) penyulihan dengan fungsi anaforis dan kataforis, dan aspek leksikal yang meliputi (1) ekuivalensi leksikal, (2) antonim, (4) kolokasi, (5) kosokbali, (6) pengulangan, dan (7) penutup dan pembuka wacana.
Berdasarkan uraian di atas terdapat persamaan dan perbedaan teori antara yang satu dengan yang lain. Menurut penulis perbedaan-perbedaan itu tidak ada yang mencolok. Perbedaan tersebut umumnya berkisar pada masalah penggunaan istilah. Namun secara garis besar pemarkah kohesi dibagi menjadi dua, yaitu pemarkah kohesi leksikal dan pemarkah kohesi gramatikal, dan kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana. Berikut akan diraikan secara lebih spesifik hanya tentang kohesi leksikal yang sesuai dengan tema penulisan penelitian ini.
E. Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara unsur-unsur wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Haliday dan Hasan (1992:226), mengemukakan bahwa kohesi leksikal merupakan keterikatan semantik yang direalisasikan ke dalam sistem leksikal. Menurutnya, di dalam kohesi leksikal tidak ada satu kasus pun khususnya butir leksikal dapat memiliki relasi kohesif, tetapi tidak dapat membawa indikasi apakah butir itu dapat berfungsi kohesif atau tidak. Kohesi leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonim, hiponim, metonim, dan antonim.
Senada dengan Haliday dan Hasan, Nunan (1992:14) menjelaskan bahwa kohesi leksikal adalah hubungan dua unsur dalam suatu teks melalui kriteria semantik. Kohesi leksikal terjadi ketika dua kata dalam teks berhubungan secara semantis dalam beberapa hal, atau dengan kata lain, keduanya memiliki hubungan makna. Pernyataan Nunan ini dikuatkan oleh Herujati (2008:134), bahwa kohesi leksikal (lexical cohesion) melibatkan relasi makna leksikal antara kata (vocabulary). Herudjati tidak membedakan antara kohesi leksikal dan gramatikal karena perbedaannya bersifar bergradasi/bertingkat.
Menurut Achmad (2005:27), aspek leksikal adalah kata atau frasa yang memautkan atau menghubungkan   kalimat-kalimat dengan  pemarka leksikal.
Beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek leksikal dapat membentuk suatu keutuhan wacana.
F. Jenis-Jenis Kohesi Leksikal
Alwi (2000: 431) menyatakan; kohesi leksikal wacana bisa dibentuk oleh hubungan hiponimi, hubungan bagian keseluruhan, hubungan keseluruan bagian (yang bersifat wajib dan manasuka).
Dalam Halliday dan Hasan (1976), kohesi leksikal hanya terdiri dari dua bagian, yaitu reiterasi (mencakup repetisi, sinonim, superordinat, dan unsur umum), dan kolokasi. Nunan (1992:14) mengatakan bahwa kohesi leksikal dapat memberikan suatu alat yang amat berguna untuk meneliti pengembangan kosakata para pemelajar bahasa.
Seperti halnya Nunan, (2004:129) membagi peranti kohesi leksikal menjadi dua bagian yaitu reiterasi, dan kolokasi. Reiterasi (pengulangan) yaitu piranti kohesi yang digunakan dengan mengulang suatu preposisi atau bagian dari preposisi. Jenis-jenis reiterasi antara lain: (1) Repetisi (ulangan). Repetisi digunakan untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat. (b) Hiponim. Kajian antarkalimat mengenal kata superordinat yang mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang terjadi pada kata subordinat disebut ulangan dengan hiponim. Suatu hal yang berdekatan atau berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan sebagai suatu kesatuan. Seperti ikan dan air, sering diasosiasikan sebagai suatu kesatuan. Kondisi seperti ini disebut kolokasi.
Kedua pendapat di atas digabungkan seperti pembagian aspek leksikal yang lebih terinci menurut  Acmad (2005 :26), bahwa aspek leksikal dapat membentuk suatu keutuhan wacana, yang terdiri dari:
Reiterasi. Reiterasi (pengulangan) yaitu piranti kohesi yang digunakan dengan mengulang suatu preposisi atau bagian dari preposisi untuk menciptakan hubungan kohesif. Reiterasi dirinci atas:
Repetisi. Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulangi sebagian kalimat seperti kata, frasa, atau klausa pada kalimat sesudahnya (Achmad:2005). Contoh:
Bahasa  yang baku pertama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa yang bermacam-macam dialeknya.
Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara.
Pengulangan (Repetisi) dibagi lagi menjadi:
Pengulangan sama tepat. Pengulangan sama tepat terjadi apabila unsur pengulangan sama dengan unsur yang diulang, hanya pada umumnya unsure pengulang diikuti unsur petunjuk itu, ini, dan tersebut (Achmad:2005).
Contoh:
Janganlah berbohong.
Berbohong itu dosa.
Pengulangan dengan perubahan bentuk. Pengulangan dengan perubahan bentuk yaitu perubahan bentuk yang disebabkan oleh perubahan tata bahasa. Misalnya karena unsure diulang berupa kata kerja dan unsure pengulangannya berupa kata benda. Contoh kata kerja bentuk di- berubah menjadi kata benda bentuk pe-N-an (Acmad:2005).
Contoh :
- Bung Karno dan Bung Hatta dijuluki Sang Proklamator RI.
- Julukan itu tak akan hilang sampai kapan pun.
(c) Pengulangan parafrase. Pengulangan paraphrase adalah pengulangan kembali suatu konsepsi dengan bentuk yang berbeda. Jadi pengulangan paraphrase adalah pengulangan yang unsure pengulangannya berparafrase dengan unsur  terulang (Achmad:2005).
Contoh:
- Maradona dijuluki ‘Si tangan Tuhan’.
- Maradona sanggup mencetak gol dengan tangannya tanpa diketahui wasit.
Sinonim. Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama (Keraf:2001:34). Sinonim secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno; yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan ‘syn’ yang berarti ‘dengan’. Secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantic diidentifikasikan sebagai ungkapan (bias berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Chaer:2002). Sama halnya dengan Tarigan yang berpendapat bahwa ‘Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, dan kalimat.
Hiponim. Hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti ‘di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Unsur hiponim  yang mencakupi makna unsur yang lain disebut superordinat dan unsur yang lain disebut subordinat. Lebih lanjut Chaer (2005: 98) mengatakan bahwa ‘hiponim adalah kata atau frasa yang maknanya termasuk dalam makna kata atau frasa lain. Hiponim dapat juga digunakan untuk mnyatakan hubungan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Mulyono (1998) juga berpendapat bahwa hiponim adalah hubungan antara kata yang maknanya spesifik dengan yang maknanya umum.
Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hiponim adalah hubungan pengulangan kata atau frasa dalam kalimat dengan kata atau frasa dalam kalimat lain yang maknanya lebih spesifik.
Contoh:
- Para ekonom memandang hidup dengan kacamata untung dan rugi saja.
- Akuntan tentu andai memperhitungkan untung rugi suatu usaha.
Metonimia. Metonimia adalah bagian dari pengulangan yang bermakna sebutan bagi orang, benda, tempat, atau nama mereka tertentu yang dianggap popular dan dekat dengan masyarakat. Metonimia berasal dari bahasa Yunani kuno ‘meta’ bertukar dan onym nama adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama ssesuatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia sesuatu barang disebutkan tetapi barang yang dimaksud barang yang lain.
Metonimia adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksud barangnya (Achmad:2005). Contoh:
Penjahat itu sedang beraksi di lampu merah.
Kapak merah sedang memeras sopir mobil mewah.
Sebutan ‘kapak merah’ pada kalimat kedua merupkan sebutan bagi penjahat yang ada pada kalimat sebelumnya.
Antonim. Antonim adalah nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan lingual yang lain. Antonim adalah ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frasa yang maknanya berlawanan, beroposisi atau kontras dengan kata atau frasa lain dapat digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain di dalam suatu pertuturan. (Chaer:2002:88). Seperti kata ‘bagus’ berantonim dengan kata ‘buruk’. Kata besar  berantonin dengan kata kecil, dan sebagainya.
Contoh:
Andi sekarang makin bergaya.
Chevrolet itu dibelinya dengan uang warisan orangtuanya.
 Kolokasi. Piranti atau pemarkah kohesi leksikal yang kedua adalah kolokasi. Kolokasi artinya makna yang ada dalam lingkungan yang sama (Achmad:2005) Semua hal yang selalu berdekatan atau berdampingan engan yang lain biasanya diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kolokasi adalah hubungan makna yang dikemukakan karena adanya kesamaan tema atau gagasan yang ada dalam lingkungan yang sama. Kolokasi dibedakan atas kolokasi penuh dan ekuivalensi leksikal.
Kolokasi penuh. Kolokasi penuh adalah pengulangan kata tau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam lingkungan yang sama.
Contoh:
 - Program wajib belajar 9 tahun didukung penuh oleh masyarakat.
 - Diharapkan mutu pendidikan Indonesia dapat meningkat sejajar dengan     
    bangsa lain.
Ekuivalensi leksikal. Ekuivalensi leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Contoh:
Mira Lesmana  pernah menolak pemberian piala citra  beberapa tahun  lalu.
Penolakan itu didukung oleh sutradara muda lainnya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan semantik antarelemen dalam wacana (cerpen) menimbulkan suatu kohesi leksikal.
G. Pidato
Pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya dibawakan oleh seorang yang memberikan orasi-orasi, dan pernyataan tentang suatu hal/peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan.
Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan umum dapat membantu untuk mencapai jenjang karier yang baik. Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Dalam berpidato, penampilan, gaya bahasa, dan ekspresi kita hendaknya doperhatikan serta kita harus percaya diri menyampaikan isi dari pidato kita, agar orang yang melihat pidato kita pun tertarik dan terpengaruh oleh pidato yang kita sampaikan.
Analisis wacana merupakan sebuah kajian terhadap unit kebahasaan di atas kalimat yang digunakan secara lisan maupun tulisan untuk mengkomunikasikan suatu maksud, ide, atau pesan. Fokus penelitian ini adalah penggunaan pemarkah kohesi leksikal dalam wacana cerpen  koran Kompas.
Untuk memperoleh data, peneliti membaca berulang-ulang teks pidato DR. KH. Zaenudin MZ. yang berjudul “Reformasi Aqidah Bagian 1” yang penulis catat dari rekaman MP3.
Data  berupa pasangan kalimat dari teks pidato dan dianalisis berdasarkan aspek kohesi leksikal pada tabel kerja.      
Berdasarkan acuan teori di atas wacana merupakan satuan yang terlengkap dan terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kepaduan (kohesi) dan kerapian (koherensi), yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.  Kepaduan makna dan kerapian bentuk merupakan faktor penting untuk menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman wacana. Kepaduan dan kerapian merupakan unsur hakikat wacana, unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Kohesi mengacu kepada aspek bahasa (language), dan koherensi kepada aspek ujaran (speech). Aspek bahasa menggambarkan bagaimana caranya proposisi-proposisi saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk suatu teks; sedangkan aspek ujaran yang menggambarkan bagaimana caranya proposisi-proposisi yang tersirat disimpulkan untuk menafsirkan tindak ilokusi dalam pembentukan suatu wacana.
Kohesi merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti pula bahwa kohesi merupakan hubungan antar kalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976:26). Suatu wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa; sebagai lawan konteks atau situasi-luar bahasa). Dengan perkataan lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif. Sarana-sarana kohesif dibagi ke dalam dua  kategori, yaitu : (1) Kohesi Leksikal dan (2) Kohesi gramatikal.
Kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini yatu dengan cara  reiterasi dan kolokasi.
Reiterasi (pengulangan) yaitu peranti kohesi yang digunakan dengan mengulang suatu preposisi atau bagian dari preposisi untuk menciptakan hubungan kohesif. Reiterasi dirinci atas:
Repetisi. Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai, Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulangi sebagian kalimat seperti kata, frasa, atau klausa pada kalimat sesudahnya. Pengulangan (Repetisi) dibagi lagi menjadi: pengulangan sama tepat dan pengulangan dengan perubahan bentuk, dan pengulangan paraprase.
Sinonim. Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama.
 Hiponim. Hiponim adalah hubungan antara kata yang maknanya spesifik dengan kata yang maknanya umum.
Metonimia. Metonimia adalah bagian dari pengulangan yang bermakna sebutan bagi orang, benda, tempat, atau nama mereka tertentu yang dianggap popular dan dekat dengan masyarakat. Metonimia adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksud barangnya (Achmad:2005).
Antonim. Antonim adalah nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan lingual yang lain. Antonim adalah ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frasa yang maknanya berlawanan, beroposisi atau kontras dengan kata atau frasa lain dapat digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain di dalam suatu pertuturan.
Kolokasi artinya makna yang ada dalam lingkungan yang sama (Achmad:2005). Kolokasi dibedakan atas 2 jenis, yaitu:
 Kolokasi penuh. Kolokasi penuh adalah pengulangan kata tau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam lingkungan yang sama.
Ekuivalensi leksikal. Ekuivalensi leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Teks pidato adalah sebuah wacana yang diungkapkan melalui penggunaan bahasa, yang di dalamnya terdapat bahasa bersayap,  dialog. Setiap wacana yang baik akan memenuhi persyaratan kohesi, salah satunya adalah kohesi leksikal yang mencakup reiterasi dan kolokasi.
III. Temuan dan Pembahasan
1. Temuan
a. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Deskripsi data dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang data yang diteliti. Data yang diteliti adalah 85 pasang kalimat dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. diteliti aspek kohesi leksikalnya yang mencakup: (1) Deskripsi data aspek kohesi leksikal perjudul, dan (2) Deskripsi data aspek kohesi leksikal seluruh judul. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk tabel.
b. Deskripsi Data Aspek Kohesi Leksikal
TABEL 1.  Analisis Aspek Kohesi Leksikal  Teks Pidato
  DR. KH. Zaenudin MZ.
NO.
ASPEK KOHESI
LEKSIKAL
JUMLAH TEMUAN
PROSENTASE
1.
Reiterasi
a. Repetisi

27

38,57 %
Sinonimi
0
0 %
Hiponimi
7
10 %
Metonimia
7
10 %
Antonimi
4
5,71 %
2
Kolokasi
a. Kolokasi Penuh

15

21,43 %
b.Ekuivalensi Leksikal
10
14,29 %

Jumlah
70
100 %

2. Pembahasan
a. Aspek Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 27 atau 38,57 % pasang kalimat yang menggunakan aspek kohesi leksikal sinonimi .
Data 12
Jadi, kalau ada strum, bunyi dong.
        
Kalau ada strum lampunya nyala, dong!
          X
Analisis:
Prasa Nomina kalau ada strum (x) pada kalimat 2  merujuk  pada  frasa nomina kalau ada strum(x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1 membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh aspek kohesi leksikal repetisi
2). Sinonimi
Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna sama, atau keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ,  tidak ada aspek kohesi leksikal sinonimi yang digunakan.
3). Aspek Hiponim
Hiponim adalah hubungan pengulangan kata atau frasa dalam kalimat dengan kata atau frasa dalam kalimat lain yang maknanya lebih spesifik. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 7 atau 10 % pasang kalimat yang menggunakan aspek kohesi leksikal hiponimi, seperti pada contoh:
Data 5
1. Membebaskan manusia dari kemusryikan.
x
2. Menyelamatkan manusia dari ketergantungan kepada benda.
                                                                x
Analisis:
Klausa  ketergantungan kepada benda (x) pada kalimat 2  merujuk  pada  nomina kemusyrikan(x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1 membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh aspek kohesi leksikal hiponimi.
4). Aspek Metonimia
Metonimia adalah majas (gaya bahasa) yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya.  Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 7 pasang kalimat atau 10 % data yang menggunakan aspek kohesi leksikal metonimia, seperti pada:
Data : 19
1. Narkoba meracuni remaja dan pemuda-pemudi kita.
x
2. Padahal dua-duanya sumber segala macam kemaksiatan.
                                                                                x
Analisis:
Klausa adverbia sumber segala macam kemaksiatan (x) pada kalimat 2 merujuk pada nomina Narkoba (x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1 (data 19) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi leksikal metonimia.
5. Aspek Antonimi
Antonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan lingual yang lain.
Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 4 atau 5,71 % pasang kalimat yang menggunakan aspek kohesi leksikal antonimi, seperti pada:

Data 15:
Kalau pondasi kuat apapun yang mau dibangun aman.
                 x
Kalau pondasi rapuh, apa yang mau dibangun di atas fondasi yang rapuh.
x
Analisis:
Frasa nomina fondasi yang rapuh  (x ) pada kalimat 2 merujuk pada frasa nomina fondasi kuat  (x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat  2 dan 1  (data 15 ) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi leksikal antonimi.
6. Aspek Kolokasi Penuh
Kolokasi penuh adalah pengulangan kata atau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam lingkungan yang sama. Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 15 pasang kalimat atau 21,43 % yang menggunakan aspek kohesi leksikal kolokasi penuh, seperti contoh:
Data 6    
Tiga belas tahun beliau berjuang di kota makkah hanya untuk menanamkan
x
 Lailahailallah  Muhammadarasulullah, dari sana segalanya dimulai.
               x
Analisis:
Kalimat  Dari sana segalanya dimulai (x), pada kalimat 2 merujuk pada  kalimat beliau berjuang di kota makkah hanya untuk menanamkan Lailahailallah  Muhammadarasulullah (x) pada kalimat satu.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1 (data 6) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi leksikal kolokasi penuh.
7. Aspek Ekuivalensi Leksikal
Ekuivalensi leksikal merupakan hubungan pengulangan kata pada kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.
Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi  bahwa dari 85 pasang kalimat Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ, terdapat 10 pasang kalimat (data)  atau 14,29 % yang menggunakan aspek kohesi leksikal kolokasi penuh, seperti contoh:
Data 13:
Kalau ada iman sujud, kalau ada iman, jihad, dong.
                               x
Seluruh amaliah kita hanya refleksi dari nilai-nilai keimanan.
               x                              
Analisis:
Klausa seluruh amaliah kita (x) pada kalimat 2 merujuk pada kalimat Kalau ada iman sujud, kalau ada iman jihad, dong.(x) pada kalimat 1.
Kesimpulan:
Kalimat 2 dan 1 (data 13) membentuk hubungan kohesif dipertalikan oleh pemarkah kohesi leksikal ekuivalensi leksikal.
3. Keterbatasan Penelitian
Penulis menyadari analisis penelitian yang dilakukan masih memiliki kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasa antara lain:
a. Penelitian hanya terbatas pada aspek kohesi leksikal.
b. Obyek penelitian hanya 1 teks rekaman dari sekian rekaman yang ada.
c. Keterbatasan waktu dan keilmuan penulis.
IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian berdasarkan mekanisme pemarkah kohesi leksikal antar pasangan kalimat yang menandai tingkat kohesi Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ. yang berjumlah 85 pasang kalimat, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.   Aspek kohesi leksikal yang digunakan Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ adalah repetisi, hiponim, metonimia, antonim, kolokasi penuh dan ekuivalensi leksikal.
2.  Aspek kohesi leksikal yang tidak digunakan Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ adalah sinonimi.
3. Pemakaian aspek kohesi leksikal dalam Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ sebanyak 85  data pasangan kalimat dari 259 data. Persentase penggunaan aspek kohesi leksikalnya mempunyai urutan sebagai berikut: (1) repetisi sebanyak 27 atau 38,57 %, (2) hiponimi sebanyak 7 atau 10 %, (3) metonimi sebanyak 7 atau 10%, (4) antonimi sebanyak 4 atau 5,71%, (5) kolokasi penuh sebanyak 15 atau 21,43%, (6) ekuivalensi leksikal sebanyak 10 atau 14,29%. Aspek kohesi leksikal yang tidak digunakan adalah sinonimi.
Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa:
a.  Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ  sudah menggunakan aspek kohesi leksikal dengan mekanisme pemarkah atau aspek kohesi leksikal yang dinyatakan oleh Halliday dan Hasan (1976), Gutwinski (1976), Kridalaksana (1978), dan Achmad (2008).
b.  Teks Pidato DR. KH. Zaenudin MZ  adalah wacana tulis yang padu (kohesif). Hal ini ditunjukkan oleh tingginya prosentase pemakaian aspek kohesi leksikal yang menjadi ciri bahasa tulisan dengan  tingkat kohesi teks pidato mencapai 83,60% ( 85 data dari 259  data pasangan kalimat).

DAFTAR  PUSTAKA

Alwi,Hasan, dkk.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Edisi III.Jakarta:Balai Pustaka. 2000.
Brown, G dan George Yule. Discourse Analysis. Cambridge University Press:1983
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. 2007.
Gutwinski, Valdemar. Cohesion in literary texts. The Hague: Mouton.1976.
Halliday, M.Ak dan Ruqaiyah Hasan. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.1992.
HP, Achmad. Cakupan Studi Analisis Wacana. Jakarta: UNJ 1988.
-------       Wacana Dan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: UNJ 2000.
------- Modul Aspek Kohesi Wacana. Jakarta: UNJ.2005.
------- Kuliah Analisis Wacana, Jakarta: PPS Unindra PGRI,  Desember 2008.
Kridalaksana, Harimurti. Seminar : Wacana Dewasa Ini. Jakarta. UNJ.2004
Moeliono, Anton M dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia  dalam Analisis  Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta: Pustaka Cakra.1988.
Nunan, David. Mengembangkan Pemahaman Wacana. Jakarta:PT. Rebia Indah Prakasa.1992.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. 2002.
Renkema, J. Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar