Senin, 14 Februari 2011

BAHASA DAN GENDER

1. BAHASA DAN GENDER
Dalam perbedaan penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki dan perempuan tidak bisa dikatakan sebagai suatu kecendrungan yang bersifat biologis semata. Faktanya menunjukkan bahwa faktor sosial dan budaya memegang peranan lebih penting dan menentukan dalam cara bagaimana kaum perempuan dan laki-laki (harus) berbicara.

Graddol (1989) mengatakan bahwa secara umum terdapat tiga macam hubungan. Pertama, ada pandangan bahwa bahasa hanyalah mencerminkan pembagian sosial; kedua, posisi pembagian dan ketidaksetaraan itu sebenarnya tercipta melalui perilaku linguistik yang seksis; ketiga, pandangan yang mengemukakan bahwa kedua proses tersebut berjalan dan saling mempengaruhi.
Pandangan bahwa perilaku linguistik semata-mata mencerminkan proses sosial bukan pandangan yang langsung sifatnya. Aksen dan dialek yang memperlihatkan bagaimana ragam bahasa yang dituturkan seseorang banyak mengikuti pola interaksi di dalam sebuah komunitas dengan orang-orang yang berbicara secara rutin dan dengan hubungan status yang dimiliki seseorang bersama mereka.
Teori-teori sosiolinguistik sudah menjadi lebih canggih dalam menjelaskan mengapa penggunaan bahasa bersifat sensitife terhadap pola-pola dan interaksi. Dengan cara-cara seperti inilah, kita dapat mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan jenis kelamin tertentu dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman sosial pria dan wanita yang secara sistematis berbeda.
Bahasa perempuan berbeda dengan bahasa laki-laki. Perbedaan bahasa laki-laki dengan perempuan sangat erat hubungannya dengan masalah kekuasaaan. Perbedaan bahasa mereka bukan saja terletak pada perbedaan suara, tetapi juga pada pemakaian atau pemilihan kata (leksikal), gramatikal, dan juga cara penyampaian (pragmatis). Hasil penelitian Otto Jespersen, misalnya menunjukkan, bahwa laki-laki dan perempuan dalam suku Ciberia menggunakan bahasa yang berbeda. Bahasa yang digunakan oleh kaum laki-laki suku itu tidak pernah digunakan oleh kaum perempuannya walaupun mereka memahaminya. Sebaliknya, laki-laki suku itu tidak pernah mempergunakan bahasa yang dipergunakan oleh kaum perempuan sekalipun kaum laki-laki mengetahui bahasa yang dipergunakan oleh kaum perempuan. Para ibu-ibu hanya mengajarkan bahasa kepada anak perempuan sedang anak laki-laki dibiarkan mengukuti bahasa ayah mereka.
Selain itu, terdapat pula hasil penelitian Holmes pada suku Amazon Indian. Suami- istri suku ini bisanya memiliki bahasa yang berbeda karena laki-laki daharuskan menikah dengan perempuan suku lain yang bahasanya berbeda. Di Montana, suku Indian Amerika Gros Ventre, perempuan atau laki-laki yang mengunakan bahasa dari lawan jenisnya akan dianggap sebagai biseksual (transgender) oleh kelompok tua-tua suku tersebut. Di Yana suatu suku Indian Amerika Selatan, beberapa kata yang digunakan oleh para lelaki lebih panjang bunyinya dari kata yang digunakan oleh kaum perempuan. Ha ini mirip dengan bahasa Jepang, terdapat kata yang diucapkan oleh laki-laki lebih panjang dari yang dipakai oleh perempuan (Esther Kuntjara, 2003).
Kalau kita perhatikan masyarakat Jawa tentang perempuan dalam bahasa Jawa juga menunjukkan bahwa perempuan lebih sering dijadikan objek untuk dilukiskan. Itu juga sebabnya mengapa lukisan di museum lebih banyak memilih objek perempuan dibanding laki-laki. Pelukis laki-laki pun lebih banyak dibanding pelukis perempuan. Perempuan lebih cocok dijadikan objek lukisan. Pendapat seperti ini tampak dari bahasa yang menggambarkan perempuan (kuntjara, 2003).
Perempuan mempunyai kedudukan yang sangat tersudut dalam hal bahasa. Apabila perempuan berbicara tidak seperti lady mereka akan dikritik sebagai sorang yang tidak feminism (Lakoff,2004).Namun, apabila mereka berbicara lemah lembut dan sopan, mereka juga akan dinilai kaum yang lemah yang tidak mampu berpikir jernih dan berbicara masalah-masalah yang serius. Kalem dan diam adalah sifat yang diharapkan oleh masyarakat dari anak perempuan.
Banyak orang yang biasa mengenal suara pria dan wanita, karena secara umum bisa dikatakan volume suara pria relative lebih besar daripada wanita, karena secara umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada wanita. Dalam dunia seni suara kita kenal golongan suara wanita dan pria. Pada wanita, misalnya ada suara alto dan sopran, pada pria ada suara tenor dan bas. Semua itu tentu berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara yang sedikit banyak berbeda pada laki-laki dan perempuan.
Kita bisa melihat dalam intonasi, misalna intonasi “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada wanita. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada perempuan
Selain hal tersebut, perbedaannya dapat juga kita lihat dalam penggunaan gesture dan ekspresi wajah. Kedua hal ini pasti ada dalam tiap masyarakat bahasa, tetapi berbeda dari masyarakat ke masyarakat, berbeda antara laki-laki dan perempuan.

2. BIAS GENDER DALAM BAHASA INDONESIA
Umumnya dalam bahasa Indonesia nomina agentif tidak bergender: dari “tukang sapu” sampai “direktur”. Kata-kata yang mendeskripsikan profesi atau jabatan seseorang tidak memberi informasi tentang gender orang yang dimaksud. Hanya ada beberapa pengecualian, misalnya,“karyawan” dan “karyawati” dan “peragawan” dan “pergawati”, “mahasiswa” dan “mahasiswi”.
Dari kata sejenis itu pun hanya sebagian yang benar-benar digunakan sebagai bentuk maskulin dan feminim secara ekslusif: Kata “mahasiswi” misalnya hanya merujuk pada perempuan, tetapi “mahasiswa” digunakan bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, sehingga kalau kita sedang membicarakan sekelompok mahasiswa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tidak perlu kita menyebutnya “mahasiswa dan mahasiswi.
Sifat bahasa Indonesia dengan nomina agentifnya yang umumnya tidak bergender, tentu strategi untuk menghilangkan bias gender pada nomina agentif tidak dibutuhkan. Nomina agentif dalam bahasa Indonesia sudah netral. Dengan kata lain, sudah sesuai dengan strategi kedua, tanpa perlu pembentukan istilah-istilah baru seperti dalam bahasa Inggris. Kata ganti orang ketiga hanya “dia”, sama untuk laki-laki dan perempuan. Maka mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menyimpulkan bahwa paling tidak menyangkut nomina agentif dan kata ganti orang ketiga. Bahasa Indonesia sebetulnya sangat relefan dengan impian para politikus bahasa feminis di Negara-negara Barat (Sumarsono,2000).
Dalam bahasa Indonesia gender sama sekali tidak hadir sebagai kategori gramatikal. Tentu saja ada kata yang merujuk pada manusia dengan gender tertentu. Misalnya, “perempuan”, “laki-laki”, “ibu”, “abang”, “suami”, tetapi kata itu tidak diperlakukan berbeda secara gramatikal. Maka kata seperti “bencong” pun tidak menimbulkan persoalan apapun secara gramatikal, sebab orang tidak perlu mengambil pilihan antara bentuk gramatikal yang maskulin atau yang feminim.
Ciri bahasa yang mungkin dapat dikatakan berbias gender adalah panggilan “nyonya” dan “nona”. Akan tetapi kata ini jarang digunakan. Panggilan antara sepasang suami-istri atau kekasih, khususnya panggilan si perempuan untuk pasangan laki-lakinya, biasanya dipinjam dari istilah kekerabatan, seperti “Mas”, “Kang”, “Abang”. Panggilan semacam itu mungkin dapat dikatakan seksis, sebab mengisyaratkan adanya hubungan hirarkis antara laki-laki dan perempuan seperti antara kakak dan adik. Dikatakan demikian, sebab makna dan kandungan panggilan-panggilan tersebut sangat tergantung pada budaya setempat (budaya daerah/etnis). Kalau kita tidak ingin melakukan generalisasi yang berlebihan, ada atau tidak adanya seksisme dalam panggilan semacam itu perlu diselidiki lebih lanjut untuk setiap budaya nusantara.
Penggunaan nama suami sebagai panggilan untuk perempuan yang sudah menikah telah dipopulerkan melalui pembentukan Dharma Wanita. Paham yang ditanamkan oleh Dharma Wanita terhadap anggotanya adalah bahwa peran utama perempuan adalah pendamping suaminya.
Bahasa Indonesia pada dasarnya tidak mengenal gender. Namun demikian, tidak berarti bahwa di Indonesia seksisme tidak ada hubungannya dengan bahasa. Contoh, seorang pembicara tentang sebuah acara resmi yang dihadiri oleh pejabat-pejabat yang bekerja pada pejabat menghadiri pesta didampingi istri masing-masing”. Meskipun kata “pejabat” tidak bergender. Artinya bisa digunakan baik untuk pejabat laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya kata “istri” dalam kalimat tersebut terdapat asumsi bahwa pejabat itu semuanya laki-laki. Kecuali kalau di antara pejabat yang hadir di pesta tersebut tidak ada satupun perempuan, ucapan di atas jelas-jelas bersifat seksis. Contoh lain yang bisa kita ungkapkan adalah kata “kepala” pada istiah “kepala keluarga” tidak bergender. Namun, karena menurut nilai masyarakat seorang kepala keluarga selalu laki-laki. Kata itu tidak bisa digunakan untuk seorang perempuan, meskipun secara defakto tidak sedikit rumah tangga yang dikepalai seorang perempuan.
Gejala anomaly lain dalam perjuangan kesetaraan jender dalam bahasa justru bersifat seksis. Seperti munculnya berbagai nomina agentif khusus perempuan, misalnya “pengarang perempuan”, “perempuan pengarang”, “sastrawati”, untuk sekedar menyebut satu contoh profesi saja. Tentu saja dalam sebuah bahasa dengan nomina agentif yang tidak bergender seperti bahasa Indonesia, kadang-kadang spesifikasi gender dibutuhkan. Akan tetapi, kata seperti “sastrawati” dan “pengarang perempuan” justru terkesan seksis. “Sastrawati” sebagai pasangan atau lawan kata “sastrawan” menyalahi logika bahasa Indonesia: “sastrawan” sudah menjadi nomina agentif yang netral. Artinya, istilah ini mencakup sastrawan laki-laki dan perempuan.
Istilah “pengarang perempuan” yang akhirnya-akhir ini sangat populer di berbagai media pun menyalahi aturan yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia berlaku aturan bahwa “yang diterangkan” disebut lebih dahulu, kemudian baru “yang menerangkan” dicantumkan di belakangnya.
Berdasarkan struktur bahasa Indonesia yang disebut di atas, kata benda yang utama disebut/ditulis lebih dulu kemudian kata yang menyusul di belakangnya merupakan keterangan tentang kata utama itu. Sebuah “baju” disebut, kemudian kita diberi keterangan bahwa baju itu berwarna “biru”. Seorang “dokter” dibicarakan, dengan keterangan bahwa dokter itu berjenis kelamin “perempuan”. Menggunakan logika ini, dalam istilah “perempuan pengarang”, kata utama adalah “perempuan”, sedangkan “pengarang” merupakan keterangannya. “Perempuan pengarang” bukanlah seorang pengarang yang berjenis kelamin perempuan melainkan seorang perempuan yang menjadi pengarang. Yang utama adalah keperempuannya, kepengarangannya sekunder.
Tetapi sekalipun yang digunakan bukan istilah sejenis “sastrawti” atau “perempuan pengarang”, melainkan sekedar kata sifat “perempuan” , bias gender tetap saja dapat terjadi. Pada hal hanya dalam konteks tertentu keterangan gender akan benar-benar dibutuhkan. Kalau misalnya kita membicarakan seseorang yang gendernya sudah diketahui atau kalau apa yang ingin disampaikan tidak ada sangkut pautnya dengan gender orang yang sedang dibicarakan, kesan yang timbul justru janggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar