Rabu, 16 Februari 2011

KEKERASAN BAHASA

Kekerasan Bahasa

Betulkah kita bangsa yang ramah, sopan dan santun? Katanya, keramahtamahan orang Indonesia selaku bangsa Timur tidak hanya pada sesama anggota keluarga dan masyarakat, namun juga kepada orang lain. “Tamu adalah raja”, demikian slogan yang sering kita dengar, mengandung pesan agar memuliakan orang lain yang hadir di tengah kita.
Tampaknya, “doktrin” kita ini masyarakat yang ramah dan sopan perlu ditinjau ulang, sebab akhir-akhir ini kekerasan cenderung dijadikan cara “mengekspresikan” eksistensi dan kepentingan. Lihat saja trend tawuran antarpelajar yang sebenarnya dipicu oleh persoalan sepele (misalnya komunikasi yang kurang tepat), demontrasi mahasiswa mulai sering berakhir ricuh dan merusak fasilitas umum, serta cara-cara main hakim sendiri terhadap anggota masyarakat yang diindikasi berbuat kriminal. Mengapa slogan ramah, sopan dan santun itu semakin sulit dicari contoh empiriknya di masyarakat? Perspektif legal formal menilai lunturnya sopan santun dan keramahtamahan tersebut karena low enforcements yang lemah dan hilangnya wibawa negara di mata rakyatnya. Di tengah situasi semacam itu, yang paling kuat dan keras bersuaralah pemenangnya. Wajar bila ada anggapan kehidupan kita ini dikendalikan oleh para preman, baik preman jalanan maupun preman kantoran. Kekerasan fisik maupun verbal sering muncul di tengah-tengah kita. Apakah kita termasuk orang yang melakukan atau orang yang secara hati-hati menghindari adanya kekerasan berbahasa.