Rabu, 23 Februari 2011

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME


A. Pendahuluan
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain sehingga “masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" atau “budaya bangsa” yang dapat menjadi "integrating force" yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa dan budaya tersebut”( Muhaemin el-Ma’hady, 2004)
Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing (Parsudi Suparlan, 2002). Karena kesadaran konsep multikulturalisme yang dibentuk oleh pendidiri bangsa ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik ”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.
Perbedadaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, keyakinan dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia, merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya rezim Orde Baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalisme.
”Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas” (Parsudi Suparlan, 2002).
Upaya untuk membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila konsep multikultural menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya  keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun local untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya. Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai multicultural dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. Untuk itu, perlu mengkaji konsep multikultural, karena konsep multikultural tidaklah disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, tetapi konsep multikultural menekankan kesederajatan dalam keanekaragaman kebudayaan.
B. PEMBAHASAN
1.  Konsep Multikulturalisme
Sebagaimana dikemukakan di awal, suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkari bahwa masyarakat dan negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman yaitu sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga “masyarakat dan negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep ”keanekaragaman” secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang lebih relevan. Lima Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan Bloom dalam Atmadja, bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Spradely [1997], ”menitikberatkan multikultural pada proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur. Kata multikultural menjadi pengertian yang sangat luas [multi-discursive], tergantung dari konteks pendefinisian dan manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Yang jelas dalam kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan berinteraksi, meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat manusia mempunyai kemauan untuk saling berbagi”. Inilah menunjukan keragaman kultur mengandung unsur jamak atau keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Dalam kontek membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, ”nilai-nilai kearifan” yang dalam hal ini ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya” dapat dijadikan sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Dengan nilai ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya”, akan berusaha mengeliminir berbagai perselihan dan konflik budaya yang kurang kondusif. Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu ”[1] prasangka historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain [out-group]”(Puwasito, Andrik, 2003).
Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir individu maupu kelompok, maka konflik dan benturan antar individu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idologi, agama akan menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilai-nilai kemanusiaan [humanis], keringnya niai-nilai ”kearifan sosial”, keringnya nilai-nilai ”kearifan budaya” dan keringnya nilai-nilai ”kearifan moral” dalam relasi antar sesama manusia baik secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya ”berkaitan dengan eksklusivisne personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi dengan persoalan kemanusiaan [humanness], komitmen dan kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal (Azra, Azyumardi, 2005). Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan – baik personal mapun komunal – dan kebudayaan yang dihasilkannya. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Konsep multikulturaliems seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban.
Konsep “multikulturalisme” yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang “multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap “realitas keragaman”, “pluralitas” dan “multikultural” yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”, (Parekh, 1997 dalam Azyumardi), membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu saja kelima bentuk multikulturalisme itu tidak “kedap air” [watertight], tetapi sebaliknya dapat saja tumpang tindih satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu, yaitu :
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.
Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Ketiga, “multikulturalisme otonomis”, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan [equality] dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya.
Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, berusaha menghapuskan ”batas-batas kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.
Mengacu pada pandangan dan konsep yang dikemukakan di atas, konsep multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat. Konsep multikulturalisme menjadi penting untuk dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan ditengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme agar melahirkan perilaku sosial kondusif, ”kearifan sosial”, ”kearifan budaya” dan “kearifan moral” atau akhlak adalah melalui “pendidikan multikulturalisme”.
Program pendidikan bagaimanakah yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa dengan corak masyakarat majemuk ini dengan berbagai etnis, sukubanga dan agama yang ada di dalamnya. Sebab masing-masing etnis, sukubangsa dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan keragaman ini tentu menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural. Oleh karenya, pengakuan akan keragamaan etnis, suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta didik, karena para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah menempatkan ideologi multikultural sebagai dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu ”Bhineka Tunggal Ika. Dalam ideologi multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu diakui dan diagungkan, baik secara individual atau kelompok maupun secara kebudayaan. Sayangnya, penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan ini nyaris tidak pernah ditumbuhkembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu merupakan upaya atau berkarakteristik penyeragaman budaya.
2. Gagasan Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia.
Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang [primitif]. Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Jadi, pendidikan yang  dilakukan suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia.
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, maka pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia serta tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Karena itu semua warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 “tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Sistem pengajaran nasional ini telah diselenggrakan oleh pemerintah mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1999 Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan di perguruan tinggi adalah: a) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; b) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional; c) mendukung pembangunan masyarakat madani yang demokratis dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri; dan d) mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumber daya sesuai dengan asas pengelolaan yang professional.
Sistem pendidikan nasional lebih bercerikan ”keseragaman” berlandaskan pada budaya nasional, berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Pendidikan diselenggarakan dengan aturan dalam konteks mayoritas yang bersaing dan berhadap dengan minoritas dan dikelola oleh pemerintah untuk meluaskan atau mempersempit hal-hal yang substansi atau penting yang menyangkut dengan lingkup dan alokasi kewenangan. ”Seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat [konsep otonomi daerah]. Ini berarti Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ditinjau dari persepektif filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju pada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Dengan sendirinya, paradigma baru dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional harus mengacu pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan” (Ernie Isis Aisyah Amini, 2004)Bhineka Tunggal Ika”. Demikian kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan persekolahan (Semiawan, Conny, 2002).
Tanpaknya sistem pendidikan kita masih harus dikelola dengan baik, konsisten, kuat secara nasional yang berdasar pada konsep keragaman atau kebhinnekaan atau multikultural. Sementara sampai pada masa reformasi sekarang, sistem pendidikan nasional kita tetap hanya bercerikan ”keseragaman” yang berlandaskan pada budaya nasional dan bukan berfokus pada konsep pendidikan multikultural. Sedangkan realitas Indonesia yang multikultural dengan berbagai masalah dalam masa reformasi sekarang, terlihat adanya kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “pendidikan nasional Indonesia” yang dapat mejadi “integrating force” yang memproses, menghidupkan dan mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa, agama dan budaya dalam prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika”.
Pendidikan merupakan lapangan yang sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan multikullturalisme yang menjadi kenyataan dalam perilaku kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pada posisi ini, pendidikan multikultur memegang peranan kunci, sebab pendidikan merupakan lapangan sentral dalam upaya menerjemahkan dan mensosialisasikan gagasan multikullturalisme, sehingga menjadi kenyataan dalam perilaku. Tetapi ”perlu diketahui, bahwa gagasan pendekatan multikultur relatif baru dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang akan dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional”.
”Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural demokratis setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir dirasakan semakin mendesak bagi negara-negara multikultural lainnya”,18 termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, hal ini semakin dirasakan terutama pada masa reformasi, otonomi dan desentralisasi yang sekarang ini sedang dijalankan, dan juga diiringi dengan berbagai konflik yang terjadi di negera ini. Oleh sebab itu, hemat penulis tanpa pendekatan multikultur, disintegrasi bangsa yang semula dianggap ancaman mungkin akan menjadi kenyataan dan konflik yang terjadi tak terselesaikan dengan baik. Untuk itu, pendekatan multikultural sangat cocok dan sejalan dengan pengembangan demokrasi yang mulai dijalankan dan juga untuk dapat mengelimir konflik yang sering terjadi.
Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang Dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikulturak merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang, ”Education for All” (H.A.R. Tilaar,2004). Merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Kesadaran tentang multikultur, sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Tetapi konsep ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan, persatuan dan stabilitas negara kesatuan. Kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama. Alhasil, dapat dikatakan sampai saat ini, bahwa wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya wawasan multikulturalisme, menyebabkan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia yang merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Konflik dan benturan antar kelompok yang memeliki perbedaan kepentingan, visi, keyakinan dan tradisi, seolah-oleh telah menjadi sesuatu lugel dan lumrah di era reformasi ini.
Pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Di beberapa negara, reperti di Amerika Serikat, revisi sistem pembelajaran merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan di negera itu. Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia.
Di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan mulikultural Indonesia. Untuk Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.
Dengan kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa model pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Katakan saja, contoh, affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Maka untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: [1] transformasi diri, [2] transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan [3] transformasi masyarakat.
Untuk menyusun konsep pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, etnis, sukubangsa dan agama bukan mengandung dan merupakan tantangan yang tidak ringan. “Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" dan “kebersamaan” belaka. Apalagi tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi yang bersifat rasis dan etnis. Dapat dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut?  Contoh lain yang pernah kita saksikan di Poso, kehidupan anak-anak sehari-harinya dihadapkan pada sistuasi konflik etnis dan agama [SARA] yang berkepanjangan. Kondisi demikian, dapat dijadikan alasan yang kuat untuk diterapkannya “pendidikan multikultural”  sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Dengan dasar ini, ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural yang perlu diantisipasi, yaitu :
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan [education] dengan persekolahan [schooling] atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Tetapi pendidikan sebagai “transmisi kebudayaan” yang dapat membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka. Tapi justru tanggungjawab tersebut juga menjadi tanggungjawab pihak lain yang terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secra tradisional para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Pertanyaannya, kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi?
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan [baik dalam maupun luar sekolah] meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Sebab masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Maka untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital” melalui pendidikan, pendidikan kewargaan [civic education] menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban dan multikultur. Maka dengan pendidikan ”multikulturalisme” diharapkan dapat mendukung pengembangan demokratis yang mulai tumbuh di tengah masyarakat Indonesia yang multi etnis, sukubangsa, budaya, agama untuk menuju masyarakat madani Indonesia atau Indonesia baru yang dicita-citakan.
3. Pendidikan Multikultural Menuju Masyarakat Madani Indonesia
Pada era reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan. H.A.R.Tilaar (1998), mengatakan bahwa masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia domokrasi juga sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai pendapat, pandangan, konsep, mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan, yang kadang-kadang satu sama lain bertentangan.  Inilah salah satu ciri dari masyarakat demokrasi, yaitu lahirnya berbagai jenis pendapat dan pandangan sebagai pernyataan harkat manausia untuk memenuhi hak-hak asasinya untuk bereksperesi.
Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari civil society, tetapi jika dilacak secara emperik istilah civil society adalah terjemahan dari istilah Latin, civils societas, yang mula-mula dipakai oleh Cocero [106-43 S.M, seorang orator dan pujangga Roma], pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society] yang memiliki kode hukum sebagai dasar hidup. Istilah ini juga dibawa dan dipopulerkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim, ke Indonesia dengan istilah "masyarakat madani" sebagai terjemahan "civil society", namun istilah masyarakat madani, tidak identik dengan civil society. Dalam memperkenalkan pengertian tentang masyarakat madani di Indoneia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep "negara kota Madinahyang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan.
Konsep masyarakat madani merupakan konsep yang bersifat universal, perlu adaptasi dan disosialisasikan apabila konsep ini akan diwujudkan di Indonesia, karena konsep masyarakat madani lahir dari masyarakat yang memiliki latar belakang sosial-budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Apabila konsep ini akan diaktualisasikan dalam masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan kehidupan, perlu langkah-langkah kontinu dan sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Konsep masyarakat madani merupakan suatu konsep yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia, sehingga upaya untuk membangun masyarakat madani bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat terkaiat dengan persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Maka untuk membangun masyarakat madani, diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, "dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, tentu segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".
Untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan. Pendidikan sebagai "sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia". Timbul pertanyaan apakah pendidikan produk Orde Baru dapat diharapkan membangun fungsi tersebut? Sebab pendidikan sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan dan kreativitas dipasung. Maka dengan tuntutan pendidikan multikultural Indonesia, tanpaknya kita harus merevisi model pembelajaran dan pendidikan, sehingga dapat mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik dengan menghargai perbedaan yang dimiliki masing-masing peserta didik.
Sistem pendidikan nasional sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Tapi selama ”Orde Baru”, tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Ternyata pemerintah yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia. Kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini telah mengalami perubahan memasuki era reformasi. Pada "era reformasi ini, masyarakat Indonesia menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, dengan sendirinya pendidikan nasional haruslah dikembalikan fungsinya kepada memberdayakan masyarakat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya sendiri”. Tapi sangat ironis sekali, konsep reformasi diterjemahkan masyarakat ke”bablasan” yang kadang-kadang menjadi tindakan ”anarkis” dan keluar jauh dari konsep reformasi itu sendiri. Sebagai contoh yang dapat diamati pada banyak kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, seperti amuk masa dan pembakaran merupakan hal yang lumrah, masyarakat bertindak sewenang-wenang, main hakim sendiri, moral dan hak-hak kemanusian [humanis] terabaikan.
Kondisi ini memerlukan konsep pendidikan ”alternatif” yang mampu menjawab perubahan masyarakat yang serba ”instan” dalam kehidupan ini. Pendidikan nasional perlu direformasi untuk mewujudkan visi baru masyarakat madani Indonesia. Bangsa ini tanpaknya memerlukan pendidikan ”alternatif” yang sesuai dengan konsep masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu: Pertama, masyarakat beriman dan bertaqwa, memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. Kedua, masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. Ketiga, masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil. Keempat, masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum. Kelima, masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Masyarakat yang memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. Keenam, masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik] (Hidayat Syarief, 1999).
Jadi masyarakat madani, merupakan suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme, dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Masyarakat madani [civil society] adalah “masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab, masyarakat yang berkembang dari rakyat dan untuk rakyat itu sendiri". Masyarakat madani adalah masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, karena mengetahui hak dan kewajibannya maka penduduk masyarakat madani itu adalah penduduk yang hidup dalam demokrasi (Ahmad Tafsir, 1999).
Untuk mengantisipasi perubahan menuju masyarakat madani Indonesia, diperlukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep pendidikan yang fungsinya dapat memberdayakan manusia dan masyarakat dengan perbedaan yang dimiliki. Konsep pendidikan multikultural [multicultural education] sebagai jawaban untuk pendidikan masyarakat madani, sebab pendidikan multikultural melihat masyarakat secara luas dari keperbedaan yang dimiliki. Sebab ”pandangan dasar bahwa sikap ”indifference” dan ”non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktural rasial, etnis dan sukubangsa saja, tapi paradigma pendidikan multikultural mancakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain.
Paradigma pendidikan multikultural ini sejalan dengan paradigma masyarakat madani yaitu masyarakat beriman, demokratis dan beradab, berbudaya, menghargai hak asasi manusia, masyarakat tertib dan sadar hukum, kreatif, mandiri dan percaya diri, sehinggan ”paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ”ethnic studies”, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi.
Sesuai dengan protetype masyarakat madani tersebut, membutuhkan pendidikan multikultural yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembentuk masyarakat tersebut ditengah ”kebihnnekaan” yang betul-betul aktual. Disain kurikulum pendidikan multikultural, ”mestilah mencakup subjek-subjek seperti seperti; toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural, sukubangsa, agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusian universal dan subjek-subjek lain yang relevan”. Untuk itu, perumusan kurikulum dan implementasi pendidikan multikultural untuk masyarakat madani Indonesia dibutuhkan pembahasan serius yang menyangkut dengan persoalan strategi yang akan ditempuh, misalnya apakah dalam bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri [separated] atau terpadu atau terintegrited [integrated].
III. KESIMPULAN
Untuk menuju masyarakat madani Indonesia, memerlukan berbagai perubahan pada semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia, serta ”sangat membutuhkan individual dan masyarakat dengan kemampuan yang tinggi". Oleh karena itu, pendidikan multikultural sarana terbaik untuk membentuk suatu generasi. "Peran pendidikan” multikultural ”diperlukan untuk mempersiapkan individu dan masyarakat sehingga memiliki kemampuan dan motivasi serta berpartisivasi secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani" Indonesia, yang mempunyai identitas berdasarkan budaya Indonesia. Maka dalam era reformasi ini, pendidikan nasional tentunya tidak sesuai lagi dengan proses budaya yang terjadi pada masa Orde Baru, karena “pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu merumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia”, dan visi pendidikan yang baru ini adalah ”pendidikan multikultural”.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2005, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia,From:http://kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm
Conny, Semiawan, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT. Prenhallindo.
el-Ma’hady, Muhaemin, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
Rahardjo, M.Dawam, 1999, “Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA,(No.39/XXII/III/1999,ISSN:0215-1412).
Maarif, Ahmad Syafii, 1996, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam (JPI),
Sanaky, Hujair AH. 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI UII, Yogyakarta.
Suparlan, Prsudi, 2002, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar.
Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani, REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformai Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang:Tera Indonesia.
Tafsir, Ahmad, 1999, “Pendidikan untuk Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada Institusi Agama Islam Lathifah Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya, 5 September 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar