Bahasa sebagai Pengungkap Realitas Budaya
Bahasa dikatakan sebagai pengungkap realitas budaya, pertama karena bahasa merupakan alat komunikasi . Sebagai alat komunikasi bahasa berfungsi sebagai alat penghubung antarmanusia dalam kehidupan sosial. Kontak sosial dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah luas dan kompleks.
Hubungan sosial antarmanusia dalam bermasyarakat bukanlah sekedar manusia yang satu mengerti apa yang disampaikan oleh manusia yang lain, tetapi lebih daripada itu manusia butuh mengekspresikan pikiran, perasaan, ide, kreativitas yang dimilikinya kepada orang lain. Begitu juga sebaliknya, manusia yang lain perlu menginterpretasi, mengapresiasi , memahami, mengerti, merasakan apa yang diungkapkan oleh manusia lain. Jika kedua hal itu terjalin dengan baik maka kontak sosial dalam kehidupan bermasyarakat akan berjalan dengan normal dan baik pula. Kedua, bahasa juga merupakan hasil karya, cipta, karsa manusia itu sendiri, dengan kata lain bahasa adalah bagian dari kebuadayaan yang diciptakan oleh manusia sebagai media untuk berkontak sosial dalam hidup dalam berkelompok yang disebut dengan hidup bermasyarakat.
Untuk mengekspresikan ide, pikiran, perasaan, dan kreativitas manusia, meskipun menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya, namun bahasa yang digunakan oleh si pembawa pesan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan imajinasi dan kreativitas masing-masing agar apa yang diungkapkan dapat dimengerti, dipahami, diinterpretasikan, dan diapresiasikan oleh si penerima pesan. Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat tertentu menggunakan bahasa pengantar daerah setempat. Selain itu, bahasa dalam kontak sosial bermasyarakat bukan saja digunakan dalam hubungan sehari-hari tetapi juga dalam hubungan penyampaian sesuatu norma adat, nasehat, tatakehidupan yang sudah digariskan secara tradisi, dan ungkapan perasaan seseorang secara pribadi kepada pribadi yang lain. Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk kontak sosial yang seperti ini adalah bahasa-bahasa yang dengan cara tertentu atau spesifik. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam kontak sosial tersebut sesuai dengan budaya di mana bahasa itu tumbuh. Misalnya, dalam Budaya Melayu Jambi ada pidato adat yang berisi seloka, pepatah, pantun, dan sebagainya. Ada pula pantun yang dinyanyikan untuk menyampaikan suatu maksud, baik untuk menyampaikan suatu nasehat maupun untuk menyampaikan perasaan kasih sayang. Ada nasehat yang disampaikan melalui cerita yang dinyanyikan seperti Rabab dalam budaya Minangkabau dan Sinden dan dalam budaya Jawa serta Kunauk (Konon) dalam Budaya Kerinci (Jambi). Gambaran ini menunjukkan bahwa setiap daerah mempunyai budaya masing-masing yang berbeda dengan daerah lain. Budaya-budaya tersebut juga diungkapkan dengan cara komunikasi bahasa yang berbeda. Artinya, bahasa adalah alat pengungkap realitas budaya.
Dalam perspektif strukturalis hubungan bahasa dan budaya khususnya bahasa sebagai pengungkap realitas budaya, dapat dijelaskan dalam poin-poin berikut ini sebagaimana dikemukakan oleh Levi-Strauss, yaitu:
1. Berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya, dongeng, upacara-upacara, system-sistem kekerabatan dan perkawinan, dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu;
2. Dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk menyusun suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya;
3. Suatu istilah (mengutip Saussure) ditentukan maknya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertenu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain padaatidik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut (alih rupa).
4. Relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan yang paling tidak punya dua pengertian;
Terbentuknya realitas budaya, menurut Vigotsky, pikiran memegang peran penting, terutama menjadikan alat budaya bersifat universal dan pikiran merupakan bahasa yang terinternalisasi (Vigotsky dalam Dolya: 2010).
Bahasa dikatakan sebagai pengungkap realitas budaya, pertama karena bahasa merupakan alat komunikasi . Sebagai alat komunikasi bahasa berfungsi sebagai alat penghubung antarmanusia dalam kehidupan sosial. Kontak sosial dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah luas dan kompleks.
Hubungan sosial antarmanusia dalam bermasyarakat bukanlah sekedar manusia yang satu mengerti apa yang disampaikan oleh manusia yang lain, tetapi lebih daripada itu manusia butuh mengekspresikan pikiran, perasaan, ide, kreativitas yang dimilikinya kepada orang lain. Begitu juga sebaliknya, manusia yang lain perlu menginterpretasi, mengapresiasi , memahami, mengerti, merasakan apa yang diungkapkan oleh manusia lain. Jika kedua hal itu terjalin dengan baik maka kontak sosial dalam kehidupan bermasyarakat akan berjalan dengan normal dan baik pula. Kedua, bahasa juga merupakan hasil karya, cipta, karsa manusia itu sendiri, dengan kata lain bahasa adalah bagian dari kebuadayaan yang diciptakan oleh manusia sebagai media untuk berkontak sosial dalam hidup dalam berkelompok yang disebut dengan hidup bermasyarakat.
Untuk mengekspresikan ide, pikiran, perasaan, dan kreativitas manusia, meskipun menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya, namun bahasa yang digunakan oleh si pembawa pesan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan imajinasi dan kreativitas masing-masing agar apa yang diungkapkan dapat dimengerti, dipahami, diinterpretasikan, dan diapresiasikan oleh si penerima pesan. Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat tertentu menggunakan bahasa pengantar daerah setempat. Selain itu, bahasa dalam kontak sosial bermasyarakat bukan saja digunakan dalam hubungan sehari-hari tetapi juga dalam hubungan penyampaian sesuatu norma adat, nasehat, tatakehidupan yang sudah digariskan secara tradisi, dan ungkapan perasaan seseorang secara pribadi kepada pribadi yang lain. Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk kontak sosial yang seperti ini adalah bahasa-bahasa yang dengan cara tertentu atau spesifik. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam kontak sosial tersebut sesuai dengan budaya di mana bahasa itu tumbuh. Misalnya, dalam Budaya Melayu Jambi ada pidato adat yang berisi seloka, pepatah, pantun, dan sebagainya. Ada pula pantun yang dinyanyikan untuk menyampaikan suatu maksud, baik untuk menyampaikan suatu nasehat maupun untuk menyampaikan perasaan kasih sayang. Ada nasehat yang disampaikan melalui cerita yang dinyanyikan seperti Rabab dalam budaya Minangkabau dan Sinden dan dalam budaya Jawa serta Kunauk (Konon) dalam Budaya Kerinci (Jambi). Gambaran ini menunjukkan bahwa setiap daerah mempunyai budaya masing-masing yang berbeda dengan daerah lain. Budaya-budaya tersebut juga diungkapkan dengan cara komunikasi bahasa yang berbeda. Artinya, bahasa adalah alat pengungkap realitas budaya.
Dalam perspektif strukturalis hubungan bahasa dan budaya khususnya bahasa sebagai pengungkap realitas budaya, dapat dijelaskan dalam poin-poin berikut ini sebagaimana dikemukakan oleh Levi-Strauss, yaitu:
1. Berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya, dongeng, upacara-upacara, system-sistem kekerabatan dan perkawinan, dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu;
2. Dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk menyusun suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya;
3. Suatu istilah (mengutip Saussure) ditentukan maknya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertenu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain padaatidik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut (alih rupa).
4. Relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan yang paling tidak punya dua pengertian;
Terbentuknya realitas budaya, menurut Vigotsky, pikiran memegang peran penting, terutama menjadikan alat budaya bersifat universal dan pikiran merupakan bahasa yang terinternalisasi (Vigotsky dalam Dolya: 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar