Kekerasan Bahasa
Betulkah kita bangsa yang ramah, sopan dan santun? Katanya, keramahtamahan orang Indonesia selaku bangsa Timur tidak hanya pada sesama anggota keluarga dan masyarakat, namun juga kepada orang lain. “Tamu adalah raja”, demikian slogan yang sering kita dengar, mengandung pesan agar memuliakan orang lain yang hadir di tengah kita.
Tampaknya, “doktrin” kita ini masyarakat yang ramah dan sopan perlu ditinjau ulang, sebab akhir-akhir ini kekerasan cenderung dijadikan cara “mengekspresikan” eksistensi dan kepentingan. Lihat saja trend tawuran antarpelajar yang sebenarnya dipicu oleh persoalan sepele (misalnya komunikasi yang kurang tepat), demontrasi mahasiswa mulai sering berakhir ricuh dan merusak fasilitas umum, serta cara-cara main hakim sendiri terhadap anggota masyarakat yang diindikasi berbuat kriminal. Mengapa slogan ramah, sopan dan santun itu semakin sulit dicari contoh empiriknya di masyarakat? Perspektif legal formal menilai lunturnya sopan santun dan keramahtamahan tersebut karena low enforcements yang lemah dan hilangnya wibawa negara di mata rakyatnya. Di tengah situasi semacam itu, yang paling kuat dan keras bersuaralah pemenangnya. Wajar bila ada anggapan kehidupan kita ini dikendalikan oleh para preman, baik preman jalanan maupun preman kantoran. Kekerasan fisik maupun verbal sering muncul di tengah-tengah kita. Apakah kita termasuk orang yang melakukan atau orang yang secara hati-hati menghindari adanya kekerasan berbahasa.
Kekerasan dalam bahasa sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan tersebut dapat berupa kata-kata kotor, makian, celaan, hinaan, mengumpat, dan sebagainya. Berbagai teori mengatakan bahwa selama ada bahasa selama itu pula kekerasan bahasa akan mengikuti, karena bahasa hanya bisa diucapkan oleh manusia dan manusia merupakan makhluk yang memiliki selain pikiran, hati, dan perasaan, juga emosi. Namun, kita sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran dan budi pekerti, mampu berbuat bijak dengan menghindari pemakaian bahasa yang kurang santun agar kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat bisa diterima oleh orang lain.
Kekerasan bahasa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan dalam situasi apa saja. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kekurangmatangan kepribadian seseorang, faktor lingkungan, dan faktor budaya. Setiap kekerasan bahasa yang dilakukan oleh orang lain akan menimbulkan kekerasan yang lain dalam bentuk yang lain.
Peran media sangat besar dalam meluasnya kekerasan bahasa, baik media cetak maupun media elektronik karena media dengan sangat mudah didapat/diakses oleh masyarakat.
Kita sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban manusia yang santun, perlu ikut serta dalam memelihara kesantunan berbahasa sehingga kekerasan bahasa dapat dicegah sedini mungkin.
Betulkah kita bangsa yang ramah, sopan dan santun? Katanya, keramahtamahan orang Indonesia selaku bangsa Timur tidak hanya pada sesama anggota keluarga dan masyarakat, namun juga kepada orang lain. “Tamu adalah raja”, demikian slogan yang sering kita dengar, mengandung pesan agar memuliakan orang lain yang hadir di tengah kita.
Tampaknya, “doktrin” kita ini masyarakat yang ramah dan sopan perlu ditinjau ulang, sebab akhir-akhir ini kekerasan cenderung dijadikan cara “mengekspresikan” eksistensi dan kepentingan. Lihat saja trend tawuran antarpelajar yang sebenarnya dipicu oleh persoalan sepele (misalnya komunikasi yang kurang tepat), demontrasi mahasiswa mulai sering berakhir ricuh dan merusak fasilitas umum, serta cara-cara main hakim sendiri terhadap anggota masyarakat yang diindikasi berbuat kriminal. Mengapa slogan ramah, sopan dan santun itu semakin sulit dicari contoh empiriknya di masyarakat? Perspektif legal formal menilai lunturnya sopan santun dan keramahtamahan tersebut karena low enforcements yang lemah dan hilangnya wibawa negara di mata rakyatnya. Di tengah situasi semacam itu, yang paling kuat dan keras bersuaralah pemenangnya. Wajar bila ada anggapan kehidupan kita ini dikendalikan oleh para preman, baik preman jalanan maupun preman kantoran. Kekerasan fisik maupun verbal sering muncul di tengah-tengah kita. Apakah kita termasuk orang yang melakukan atau orang yang secara hati-hati menghindari adanya kekerasan berbahasa.
Kekerasan dalam bahasa sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan tersebut dapat berupa kata-kata kotor, makian, celaan, hinaan, mengumpat, dan sebagainya. Berbagai teori mengatakan bahwa selama ada bahasa selama itu pula kekerasan bahasa akan mengikuti, karena bahasa hanya bisa diucapkan oleh manusia dan manusia merupakan makhluk yang memiliki selain pikiran, hati, dan perasaan, juga emosi. Namun, kita sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran dan budi pekerti, mampu berbuat bijak dengan menghindari pemakaian bahasa yang kurang santun agar kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat bisa diterima oleh orang lain.
Kekerasan bahasa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan dalam situasi apa saja. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kekurangmatangan kepribadian seseorang, faktor lingkungan, dan faktor budaya. Setiap kekerasan bahasa yang dilakukan oleh orang lain akan menimbulkan kekerasan yang lain dalam bentuk yang lain.
Peran media sangat besar dalam meluasnya kekerasan bahasa, baik media cetak maupun media elektronik karena media dengan sangat mudah didapat/diakses oleh masyarakat.
Kita sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban manusia yang santun, perlu ikut serta dalam memelihara kesantunan berbahasa sehingga kekerasan bahasa dapat dicegah sedini mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar